Terasa olehku bibir kewanitaannya bedenyut-denyut kencang meremasi kejantananku bersamaan dengan meledaknya cairan nikmatnya untuk yang kedua kalinya. Eksanti memeluk leherku, mengempit kepalaku di dadanya yang bergelora. Kedua kakinya yang panjang dan mulus kini melingkari erat pinggangku, membuat kejantananku tenggelam semakin dalam. Oh, kejantanan itu masih keras-kenyal karena memang belum apa-apa. Aku belum mencapai klimaks, dan Eksanti pun sangat mengharap permainan berikutnya segera dimulai lagi. Sesaat setelah kenikmatannya mereda aku menurunkan tubuhnya dari gendonganku, kejantananku masih tertancap erat di dalam sana.
Eksanti bertanya-tanya dalam hati, "Posisi apa yang akan Mas pilih kali ini?"
Seakan mendengar pertanyaan itu, aku tiba-tiba membalikkan tubuh Eksanti.
"Mas ini kuat sekali", pikir Eksanti, "..dengan mudah bisa memutar tubuhku tanpa melepaskan kejantanannya".
Kini Eksanti berdiri menghadap ke arah lemari abu-abu, membelakangi tubuhku, dan aku menusukkan kejantananku dari arah belakang tubuhnya dengan gerakan maju mundur. Tanganku meraih ke depan, meremas payudara Eksanti yang bergelantungan-bergoyangan karena dorongan-dorongan tubuhku.
Dengan posisi seperti ini, Eksanti merasakan kejantananku semakin keras menggosok-gosok dinding kewanitaannya. Padahal dinding-dinding itu masih berdenyut-bergelora akibat orgasme yang baru lalu. Akibatnya, dengan segera Eksanti kembali mengerang-ngerang merasakan kegelian-kegatalan baru, kali ini bahkan lebih kuat karena langsung terasa sampai ke tulang sumsum. Rasanya, kejantananku bertambah panjang saja, menelusup jauh ke dalam tubuh Eksanti, membuat wanita ini seperti dirogoh-rogoh sampai ke jantungnya.
Aku pun merasakan kenikmatan baru, berbeda dari ketika aku hanya berdiri menggendong menerima henyakan tubuhnya. Kini aku bisa mengendalikan lagi permainan yang tadi diambil alih oleh Eksanti. Kini aku bisa leluasa mengeluar-masukkan kejantananku, memutar-mutarnya sesekali, dan menggesek-gesekkannya ke dinding kenyal-licin. Nikmat sekali rasanya liang wanita yang sudah orgasme, karena seperti hidup dan bergelora. Tidak pasif seperti seonggok daging belaka. Itulah sebabnya, setiap kali berhubungan cinta, aku selalu berusaha setidaknya aku bisa terus bercinta setelah si wanita orgasme untuk kesekian-kalinya. Tetapi, diam-diam aku kagum juga merasakan betapa kewanitaan Eksanti lain dari yang lain. Kewanitaannya lebih kuat mencekal, lebih kenyal dan tidak terlalu dibanjiri cairan cinta. Karena itu, nikmat sekali rasanya mengeluar-masukkan kejantanan di liang yang kenyal-padat seperti itu. Betul-betul nikmat.
"Aucchh.. Mas.. enakk.. Mas..", Eksanti mendesah lembut.
Aku himpit tubuhnya dari arah belakang sambil menciumi punggungnya yang putih bersih. Tanganku memeluk tubuhnya dari arah belakang sambil jemari kedua tanganku memilin-milin lembut puting susunya. Lalu salah satu tanganku meninggalkan payudara Eksanti, menjalar ke bawah, lalu menggerayangi "si Kecil Merah". Wow! bagi Eksanti, sentuhan-sentuhan di bagian itu, pada saat seperti ini -ketika orgasme sedang bersiap melanda tubuhnya kembali- adalah "sentuhan maut".
Ia menggelinjang, lalu mengerang, "Oh, yachh.. touch me there, Mas!" menyatakan persetujuannya.
Aku pun tanpa ragu-ragu mulai menggosok-gosok si kecil yang semakin menonjol itu. Mula-mula cuma menggosok halus, tetapi semakin lama semakin keras, dan akhirnya bukan lagi menggosok. Aku memilin-meremas tonjolan itu, membuat Eksanti merintih-rintih keenakan. Kenikmatan yang datang dari tonjolan itu kini berbaur dengan kenikmatan yang datang dari serudukan-serudukan kejantananku dan dari satu payudaranya yang diremas. Berbaur semakin menyatu, semakin membesar, seperti badai yang sedang mengumpulkan momentum. Aku pun merasakan hal ini. Maka aku mempercepat ayunan pinggulku, menghujam lebih keras dan dalam, meremas-remas lebih gemas, dan menggosok-memilin lebih tegas.
Eksanti menggoyang-goyangkan buah pantatnya semakin kencang, tangan kirinya berpegangan pada handle pintu lemari seraya jemarinya meremas-remas dengan gemas handle pintu lemari itu. Sementara tangan kanannya memegang buah pantatku seraya menekan-dekan kearah depan, seolah-olah Eksanti ingin seluruh kejantananku tertelan di dalam lubang kewanitaannya lebih dalam lagi.
"Ayo Mas.. lebih dalam lagi, lebih dalam lagi.. please..", Eksanti mengerang-erang lembut sambil terus menekan-nekan buah pantatku.
Peluh ditubuh kami bercucuran karena semakin panasnya ruangan itu, ditambah dengan panasnya bara birahi yang berkobar-menyala. Sesekali aku menjilati peluh yang menetes di leher dan punggung mulusnya.
"Ochh.. sayang.. Mas mau keluar..", aku mengejang ketika puncak kenikmatanku hampir tiba.
"Please Mas.. aku ingin Mas enak, keluarin di dalam yaa.. Mas.. please..", Eksanti mendesah-desah penuh nikmat.
Aku semakin mempercepat gerakanku, dan irama kita semakin menderu sebelum akhirnya aku mencapai puncak nikmat itu. Lalu semenit kemudian plas..plas.. plas..(8X), aku meledak di dalam kewanitaannya..
"Occhh.. sayangg.. Mas keluarr..".
Tiga detik kemudian bersamaan dengan orgasmenya yang ketiga, Eksantipun berteriak keras..
"Auughh.. Mas.. Santi juga enaakk.., aku.. oochh!!", jerit Eksanti keras sekali.
Lalu kepalanya mendongak dan tubuhnya menggeliat-geliat liar, hampir saja lepas dari rangkulanku. Klimaks datang dengan sangat tiba-tiba dan cepat, tidak lagi seperti air bah yang menggelandang, tetapi seperti pijar kilat di langit. Aku menggigit lembut lehernya sembari memeluk erat tubuhnya, sementara kejantananku masih tertanam erat di dalam lubang surgawinya sambil menikmati denyutan lembut bibir kewanitaannya. Tubuh Eksanti kembali berguncang-guncang dan bergeletar hebat. Erangannya kembali memenuhi ruangan.
Klimaks ke tiga ini sungguh tak kalah dahsyat dari yang ke dua. Malah lebih hebat lagi, karena datang di saat tubuh Eksanti masih dilanda kenikmatan sisa klimaks sebelumnya. Eksanti merasakan seluruh sendinya seperti mau copot akibat orgasme yang datang bertalu-talu berkepanjangan ini. Otot-ototnya terasa pegal akibat terus-menerus meregang menerima gelitikan-nikmat. Pandangannya kabur karena keringat kini memenuhi dahi dan mengalir masuk ke matanya yang berkerejap-kerejap. Tetapi semua itu menambah nikmat belaka. Memang, letih karena orgasme adalah letih yang jauh berbeda dibanding letih yang lain. Inilah barangkali satu-satunya letih yang tidak meletihkan!
Eksanti merosot terjerembab, tertelungkup di karpet karena tak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri yang berguncang-guncang. Dengan suara.. plop! kejantananku tercerabut dari liang kewanitaannya. Cairan cinta berleleran di sela-sela paha Eksanti, cepat-cepat aku menghapusnya dengan saputangan handuk miliknya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Tubuh Eksanti yang telungkup tampak berguncang-guncang seperti orang tersedu-sedan. Keringat tipis mulai tampak di punggungnya, seperti lapisan plastik berkilat-kilat. Seksi sekali tubuh molek yang putih mulus itu tampak dari belakang. Aku mengusap-usap buah pantat Eksanti yang menonjol padat, seakan-akan sedang berusaha menenangkan wanita yang sedang terguncang oleh klimaks itu.
Nafas kami masih tersengal-sengal dan kami berdua terkulai lemas bermandikan keringat. Eksanti membalikkan tubuhnya dengan lunglai.
"Acchh.., nikmat dan melelahkan sekali permainan cinta kali ini", gumamnya dalam hati.
Dipandangnya aku yang masih berlutut dengan kejatananku yang mulai lunglai.
Sesaat kemudian ketika kenikmatan itu mulai mereda, Tek-tek-tek! kami mendengar suara ketukan di pintu utama kaca depan kantor! Oh shit! Not now please, please, please, aku merutuk dalam hati. Kedua mata Eksanti terbelalak, wajahnya memucat, dengan agak kuat ia mendorong tubuhku menjauh. Ia memandangi pakaian di lantai yang sudah tak keruan letaknya itu. Kemudian dengan tergopoh-gopoh ia membenahi. Aku membenahi juga celanaku dan bajuku. Eksanti kemudian membalikkan tubuhnya menghadap lemari kembali sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
"..Oh shit! Apes benar diriku", sesalku dalam hati.
0 Komentar