Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Aku tergoda sepupu suamiku

Part 1
Alya berdiri di depan cermin besar di kamar pengantin yang dihiasi bunga-bunga putih dan emas. Gaun pengantin yang membalut tubuhnya terasa seperti mimpi yang menjadi nyata. Di belakangnya, Raka, suaminya, sedang merapikan dasi sambil sesekali tersenyum ke arahnya melalui pantulan cermin.

"Kamu terlihat sangat cantik," kata Raka lembut, menghampiri Alya.

Alya membalas senyumnya. "Dan kamu terlihat sangat tampan. Aku merasa ini seperti mimpi."

Pernikahan mereka baru saja selesai, dan resepsi berjalan dengan sangat lancar. Semua orang memuji pasangan itu sebagai "pasangan sempurna". Alya adalah wanita yang lembut, cerdas, dan penuh perhatian, sementara Raka adalah pria mapan dengan sikap tenang yang membuat siapa pun merasa nyaman di dekatnya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Alya tidak bisa menghilangkan rasa gugup yang menggantung di sudut hatinya. Pernikahan ini bukan sekadar tentang cinta, tetapi juga harapan besar dari kedua keluarga. Kedua orang tua mereka telah lama berteman baik, dan menyatukan Alya dan Raka dianggap sebagai puncak dari hubungan yang sempurna itu.

Setelah pesta selesai, malam pertama mereka pun tiba. Raka memeluk Alya dengan penuh kasih di kamar pengantin yang kini hanya milik mereka berdua. Alya merasa nyaman, tetapi ada perasaan canggung yang tidak bisa ia ungkapkan.

"Apakah kamu bahagia?" tanya Raka sambil menatap matanya.

Alya mengangguk, meskipun ada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. "Aku bahagia. Kamu?"

"Tentu saja. Aku akan memastikan kita selalu bahagia bersama."

Malam itu berlalu dengan penuh kehangatan, tetapi juga menyisakan ruang kecil untuk keraguan yang tidak bisa Alya pahami.

---

Dua Bulan Kemudian

Pernikahan mereka berjalan dengan baik, tetapi rutinitas mulai menguasai kehidupan mereka. Raka adalah seorang manajer proyek di perusahaan besar, yang berarti waktunya lebih banyak dihabiskan di kantor. Alya, yang memilih untuk berhenti bekerja demi fokus pada rumah tangga, mulai merasa kesepian di rumah yang terlalu besar dan terlalu sunyi.

Alya mengisi hari-harinya dengan membaca, merapikan rumah, atau memasak untuk Raka. Namun, tidak bisa dipungkiri, ia merindukan kehidupan sebelumnya—saat ia bekerja di sebuah agensi periklanan dan selalu sibuk dengan ide-ide kreatifnya.

Pada suatu malam, saat Raka pulang terlambat, Alya menyapanya dengan senyuman kecil. "Kamu kelihatan lelah. Aku sudah menyiapkan makan malam."

Raka menghela napas dan tersenyum. "Maaf, aku terlambat lagi. Proyek ini benar-benar menyita waktu."

Alya hanya mengangguk. Ia memahami kesibukan suaminya, tetapi tidak bisa mengabaikan rasa kosong yang semakin tumbuh di hatinya.

Semuanya mulai berubah ketika Gilang, sepupu Raka, datang mengunjungi mereka. Gilang baru kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai seorang pria muda yang penuh semangat dan humor, Gilang membawa warna baru ke dalam kehidupan Alya yang monoton.

Pada awalnya, Gilang hanya berkunjung untuk urusan keluarga. Namun, setiap kali ia datang, ia selalu membawa cerita-cerita menarik tentang petualangannya di luar negeri. Alya merasa terhibur dengan percakapan mereka, yang sering kali diwarnai dengan tawa.

"Kakak Raka ini terlalu serius," kata Gilang suatu hari saat mereka berbincang di ruang tamu. "Aku yakin dia dulu juga suka bercanda, tapi sepertinya pekerjaan mengubahnya."

Alya tersenyum kecil. "Dia memang selalu fokus pada tanggung jawabnya."

"Dan bagaimana denganmu, Kak Alya? Apa yang kamu lakukan untuk bersenang-senang?"

Pertanyaan itu membuat Alya terdiam sejenak. Apa yang sebenarnya ia lakukan untuk dirinya sendiri? Selama dua bulan terakhir, ia merasa hidupnya hanya berputar di sekitar peran sebagai istri.

"Aku... tidak tahu," jawabnya pelan.

Gilang tersenyum. "Kalau begitu, mungkin aku harus mengajakmu mencoba hal-hal baru. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan tanpa bersenang-senang."

Seiring waktu, Gilang semakin sering mengunjungi rumah mereka. Raka tidak merasa keberatan karena ia percaya penuh pada Alya dan sepupunya. Namun, tanpa disadari, perhatian kecil dari Gilang mulai mengguncang hati Alya.

Gilang selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa. Ia juga sering membantu Alya dengan pekerjaan rumah, sesuatu yang jarang dilakukan Raka karena kesibukannya. Perlahan, Alya mulai merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali bersama Gilang—perasaan yang ia tahu seharusnya tidak ada.

Pada suatu sore, saat mereka sedang duduk di teras, Gilang berkata, "Kamu tahu, Kak Alya, aku selalu merasa nyaman berbicara denganmu. Kamu seperti teman yang selalu bisa memahami aku."

Alya hanya tersenyum, tetapi hatinya berdebar. Ia tahu perasaan itu salah, tetapi sulit baginya untuk mengabaikannya.

---

Dilema yang Mendalam

Malam itu, Alya termenung di kamar. Ia memandangi Raka yang sudah tertidur lelap di sampingnya. Ia mencintai Raka, tetapi perhatian yang ia dapatkan dari Gilang mulai membuatnya ragu.

"Aku tidak boleh seperti ini," gumamnya pelan.

Namun, semakin ia mencoba menyangkal perasaannya, semakin kuat perasaan itu tumbuh.

Alya tidak pernah berniat untuk mengkhianati Raka. Tetapi, perhatian yang diberikan Gilang membuatnya merasa dihargai dengan cara yang berbeda. Ia merasa hidup kembali, seperti dirinya yang dulu—penuh semangat dan tawa.

Hari itu adalah hari Minggu, salah satu hari yang paling ditunggu Alya karena Raka biasanya tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, pagi itu, telepon Raka berdering lebih awal, dan ia segera bersiap untuk pergi ke kantor.

"Maaf, Ay. Ada masalah mendadak di proyek. Aku harus ke kantor beberapa jam," kata Raka sambil mengenakan jasnya.

Alya mencoba tersenyum meski hatinya kecewa. "Hati-hati di jalan."

Setelah Raka pergi, Alya memutuskan untuk membersihkan rumah. Namun, pikirannya terus-menerus melayang pada percakapan terakhirnya dengan Gilang. Ia tahu bahwa semakin sering mereka berbicara, semakin sulit baginya untuk menahan diri.

Siang itu, Gilang datang tanpa memberi tahu. Ia membawa sekotak kue cokelat yang terlihat menggiurkan.

"Aku lewat toko kue favoritku tadi dan langsung kepikiran kamu," katanya dengan senyum lebar.

Alya menghela napas. "Gilang, kamu tidak harus selalu datang ke sini."

"Kenapa? Aku suka ngobrol sama kamu. Lagipula, Kak Raka pasti sibuk lagi, kan?"

Alya tidak bisa membantah. Ia mempersilakan Gilang masuk, dan mereka duduk di ruang tamu sambil menikmati kue.

---

Percakapan yang Berbahaya

Percakapan mereka awalnya ringan. Mereka membahas film, musik, dan perjalanan Gilang di luar negeri. Namun, perlahan, suasana menjadi lebih serius.

"Kak Alya," kata Gilang tiba-tiba, "kenapa kamu sering terlihat sedih belakangan ini?"

Alya terkejut dengan pertanyaan itu. "Aku tidak sedih."

"Jangan bohong. Aku bisa melihatnya di matamu."

Alya terdiam. Ia tidak ingin mengeluh tentang Raka, tetapi ia tidak bisa menyangkal perasaan kesepian yang sering menguasainya.

"Kadang aku merasa... kosong," akhirnya Alya mengakui.

Gilang menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu pantas merasa bahagia, Kak. Kamu pantas mendapatkan perhatian."

Alya merasakan dadanya sesak. Kata-kata Gilang begitu tulus, tetapi juga berbahaya. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, tetapi perasaan itu sudah terlanjur mengakar.

Sore itu, langit tiba-tiba gelap, dan hujan deras turun tanpa peringatan. Gilang yang berniat pulang terpaksa bertahan di rumah Alya.

"Aku akan menunggu hujan reda," katanya sambil duduk kembali di sofa.

Alya merasa canggung, tetapi ia tidak ingin menyuruh Gilang pergi di tengah hujan deras. Mereka akhirnya duduk di ruang tamu, mendengarkan suara hujan yang menenangkan.

Namun, keheningan itu membuat suasana semakin tegang. Alya bisa merasakan tatapan Gilang yang terus tertuju padanya.

"Alya," kata Gilang tiba-tiba, tanpa menyebutkan kata "Kak."

Alya menoleh. "Ada apa?"

Gilang menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikannya. Aku menyukaimu."

Alya membeku di tempatnya. Kata-kata itu menggema di kepalanya, menghancurkan tembok yang selama ini ia coba bangun.

"Gilang, jangan..."

"Aku tahu kamu mencintai Kak Raka. Aku tidak ingin merusak pernikahan kalian. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku."

Alya berdiri, mencoba menjaga jarak. "Ini tidak benar. Kamu harus pergi."

Gilang tidak bergerak. "Maafkan aku. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku."

---

Dilema yang Semakin Dalam

Setelah Gilang pergi, Alya merasa campur aduk. Di satu sisi, ia marah pada dirinya sendiri karena membiarkan hubungan mereka menjadi begitu dekat. Di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan betapa nyaman dan diperhatikannya ia saat bersama Gilang.

Malam itu, ketika Raka pulang, Alya mencoba bersikap biasa. Namun, pikirannya terus dihantui oleh pengakuan Gilang.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Raka saat makan malam.

Alya mengangguk. "Aku hanya lelah."

Namun, Alya tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus membuat keputusan—apakah ia akan tetap setia pada Raka atau menyerah pada perasaan yang salah untuk Gilang.

---

Keputusan yang Sulit

Hari-hari berikutnya, Alya mencoba menjaga jarak dari Gilang. Ia tidak membalas pesan-pesannya dan menghindari pertemuan dengannya. Namun, perasaan itu tetap ada, membayangi setiap langkahnya.

Pada suatu malam, Raka mengajak Alya makan malam di luar untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-6 bulan.

"Maaf aku sering sibuk. Aku ingin kita lebih sering menghabiskan waktu bersama," kata Raka sambil menggenggam tangan Alya.

Alya tersenyum, tetapi hatinya terasa kosong. Ia merasa bersalah karena memikirkan orang lain di tengah momen seperti ini.

Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di taman dekat restoran. Raka terlihat begitu bahagia, dan Alya merasa hatinya hancur. Bagaimana mungkin ia membiarkan dirinya jatuh ke dalam perasaan yang salah?

---

Pertemuan Tak Terduga

Beberapa hari kemudian, Alya tanpa sengaja bertemu Gilang di sebuah pusat perbelanjaan. Ia mencoba menghindar, tetapi Gilang melihatnya lebih dulu.

"Kak Alya," panggilnya dengan nada penuh harap.

Alya tidak punya pilihan selain berhenti. "Gilang, aku tidak bisa terus seperti ini."

"Aku juga tidak bisa," jawab Gilang. "Tapi aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin memastikan kamu bahagia."

Alya merasa dadanya sesak. Ia tahu bahwa perasaan ini salah, tetapi Gilang memberinya sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dari Raka—perasaan dihargai dan dipahami.

Bab ini diakhiri dengan Alya yang semakin terjebak dalam dilema besar. Ia tahu apa yang benar, tetapi hatinya sulit mengabaikan perasaan yang tumbuh untuk Gilang.

Beberapa minggu setelah pertemuan tak terduga di pusat perbelanjaan, Alya berusaha keras untuk menjaga jarak dari Gilang. Namun, setiap kali ia mencoba melupakan pengakuan Gilang, ingatan itu justru semakin mengusik pikirannya.

Raka, di sisi lain, tetap sibuk dengan pekerjaannya. Malam-malamnya sering dihabiskan di depan laptop, dan akhir pekan yang seharusnya menjadi waktu istirahat berubah menjadi lembur tanpa henti. Alya merasa semakin jauh dari suaminya, meskipun mereka berada di rumah yang sama.

"Bagaimana harimu?" tanya Raka suatu malam, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.

"Baik," jawab Alya singkat. Ia ingin mengatakan lebih banyak—tentang rasa kesepiannya, tentang perasaan yang menggerogotinya—tetapi ia tidak tahu bagaimana memulainya.

---

Kunjungan yang Tak Terduga

Suatu sore, ketika Raka masih di kantor, Gilang kembali muncul di depan pintu rumah mereka. Alya terkejut melihatnya.

"Aku tahu kamu tidak ingin aku datang, tapi aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," kata Gilang dengan nada lembut.

Alya ingin menyuruhnya pergi, tetapi ia tidak punya keberanian. Sebaliknya, ia hanya membiarkan pintu terbuka dan mengundangnya masuk.

Mereka duduk di ruang tamu, dengan keheningan yang berat di antara mereka. Gilang memandang Alya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

"Kak, aku tidak ingin membuat hidupmu lebih sulit," kata Gilang akhirnya. "Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura tidak peduli."

Alya menatapnya, merasa bingung dan marah pada dirinya sendiri. "Gilang, aku sudah menikah. Kamu tahu itu."

"Aku tahu," jawab Gilang pelan. "Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku."

Alya merasakan air mata menggenang di matanya. "Kamu harus pergi."

Namun, sebelum Gilang sempat menjawab, hujan deras tiba-tiba turun di luar.

---

Pertemuan yang Membawa Titik Lemah

Mereka terjebak di ruang tamu, dengan suara hujan yang deras menggema di sekitar mereka. Keheningan itu semakin membebani Alya.

"Gilang," katanya akhirnya, "kita tidak bisa terus seperti ini. Ini salah."

"Aku tahu," jawab Gilang. "Tapi aku juga tahu bahwa kamu tidak bahagia."

Alya terdiam. Ia tidak bisa menyangkal kata-kata Gilang. Selama beberapa bulan terakhir, ia merasa seperti hidupnya kehilangan arah. Namun, mengakui itu kepada Gilang hanya akan memperumit keadaan.

Saat mereka berbicara, Alya mulai merasa bahwa perasaannya semakin sulit untuk dikendalikan. Ia tahu bahwa ia harus mengambil keputusan segera—baik untuk dirinya maupun untuk pernikahannya.

---

Raka Mulai Curiga

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Alya berusaha menghindari Gilang. Ia tidak membalas pesan-pesannya dan menghindari acara keluarga di mana mereka mungkin bertemu. Namun, perubahan sikap Alya tidak luput dari perhatian Raka.

"Kamu kelihatan aneh belakangan ini," kata Raka suatu malam saat makan malam.

"Aneh bagaimana?" tanya Alya, mencoba terdengar santai.

"Seperti kamu sedang memikirkan sesuatu. Ada yang ingin kamu ceritakan?"

Alya menggeleng cepat. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah."

Namun, Raka tidak sepenuhnya yakin. Ia mulai memperhatikan Alya lebih dekat, meskipun ia tidak mengatakannya secara langsung.

---

Konflik Internal yang Semakin Dalam

Alya mulai merasa terjebak dalam lingkaran emosi yang semakin sulit ia kendalikan. Di satu sisi, ia mencintai Raka dan tidak ingin menghancurkan pernikahannya. Di sisi lain, perhatian yang diberikan Gilang membuatnya merasa hidup kembali.

Pada suatu malam, Alya mencoba berbicara dengan Raka tentang perasaan kesepiannya.

"Raka, apakah kamu merasa kita semakin jauh?" tanyanya dengan hati-hati.

Raka terkejut dengan pertanyaan itu. "Maksudmu apa?"

"Aku merasa seperti kita tidak benar-benar saling terhubung lagi," kata Alya.

Raka menghela napas. "Aku tahu aku sering sibuk, tapi aku melakukan ini untuk kita, Alya. Untuk masa depan kita."

"Aku tahu," jawab Alya. "Tapi aku tidak butuh kamu bekerja terus-menerus. Aku butuh kamu ada di sini, bersama aku."

Raka terdiam, tampak berpikir. "Aku akan mencoba lebih banyak meluangkan waktu. Aku janji."

Namun, meskipun janji itu terdengar tulus, Alya merasa bahwa masalah mereka lebih dalam daripada sekadar waktu yang dihabiskan bersama.

---

Godaan yang Kembali

Beberapa minggu kemudian, Alya tanpa sengaja bertemu Gilang di sebuah acara keluarga. Meskipun ia mencoba menjaga jarak, Gilang tetap berusaha mendekatinya.

"Kak Alya," kata Gilang pelan, "aku merindukanmu."

Alya menggeleng, mencoba menahan emosinya. "Gilang, kita tidak bisa terus seperti ini."

"Aku tahu," jawab Gilang. "Tapi aku juga tahu bahwa kamu tidak bahagia dengan Kak Raka."

Alya merasa marah dan sedih sekaligus. Ia ingin membantah, tetapi ia tidak bisa.

Malam itu, saat pulang ke rumah, Alya merasa hatinya semakin kacau. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan segera, tetapi ia tidak tahu apa yang benar...

 Part 2??

#Noveldewasa #novelromatis

Posting Komentar

0 Komentar