Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Aku tergoda sepupu suamiku part 2


Part 2

Alya merasa seperti hidupnya berjalan di atas tali tipis. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti membawa risiko besar. Hubungannya dengan Raka tampak baik-baik saja di luar, tetapi di dalam hatinya, ia merasa seperti ada jurang yang semakin lebar di antara mereka.

Sementara itu, Gilang semakin sulit dihindari. Meski Alya berusaha menjaga jarak, Gilang tetap muncul, baik secara langsung maupun melalui pesan-pesan singkat yang terus ia abaikan.

---

Raka Mencoba Berubah

Setelah percakapan serius mereka beberapa minggu lalu, Raka benar-benar berusaha meluangkan lebih banyak waktu untuk Alya. Ia mulai pulang lebih awal, membawa bunga, dan bahkan mengajak Alya makan malam di restoran favorit mereka.

"Aku ingin kita memulai semuanya lagi," kata Raka suatu malam saat mereka duduk di balkon rumah, menikmati angin malam.

Alya tersenyum tipis. "Aku juga ingin begitu."

Namun, meskipun usaha Raka tulus, Alya merasa sulit untuk sepenuhnya membuka hatinya lagi. Bayangan Gilang terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa bersalah sekaligus rindu.

---

Perjalanan ke Masa Lalu

Suatu hari, Raka mengusulkan ide untuk pergi liburan singkat ke villa keluarga mereka di Puncak. Alya setuju, berharap suasana baru dapat membantu memperbaiki hubungan mereka.

Ketika mereka tiba di villa, kenangan manis dari masa pacaran mereka kembali muncul. Villa itu adalah tempat di mana Raka pertama kali melamar Alya, dengan pemandangan matahari terbenam yang indah di belakang mereka.

"Aku ingat hari itu," kata Raka sambil memandang ke arah matahari yang mulai tenggelam. "Aku begitu gugup sampai hampir menjatuhkan cincin."

Alya tertawa kecil, tetapi ada rasa pahit yang menyelinap di hatinya. Ia ingin kembali ke masa itu, ketika segalanya terasa lebih sederhana.

Malam itu, mereka duduk di depan perapian, berbicara tentang rencana masa depan mereka. Raka terlihat begitu antusias, tetapi Alya merasa dirinya hanya setengah hadir dalam percakapan itu.

---

Kejutan Tak Diundang

Saat mereka kembali dari liburan, Alya merasa sedikit lebih baik. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Suatu sore, ketika Raka sedang di kantor, Gilang tiba-tiba muncul di depan pintu rumah mereka. Alya terkejut dan marah sekaligus.

"Gilang, kenapa kamu di sini?" tanya Alya dengan nada tajam.

"Aku harus bicara denganmu," jawab Gilang.

"Aku sudah bilang, kita tidak bisa terus seperti ini."

"Alya, aku tidak bisa melupakanmu. Dan aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama."

Alya terdiam. Kata-kata Gilang membuatnya merasa semakin terpojok.

"Kamu harus pergi," kata Alya akhirnya, mencoba menahan emosinya.

Namun, sebelum Gilang sempat menjawab, suara mobil Raka terdengar dari luar.

---

Konfrontasi yang Tak Terhindarkan

Ketika Raka masuk ke dalam rumah, ia langsung melihat Gilang berdiri di ruang tamu.

"Hei, Gilang. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Raka dengan nada santai, meskipun ada sedikit kebingungan di wajahnya.

"Aku... hanya mampir," jawab Gilang canggung.

Alya merasa jantungnya berdetak kencang. Ia takut Raka akan mencurigai sesuatu, tetapi suaminya tampaknya tidak terlalu memikirkan kehadiran Gilang.

"Bagus kalau kamu mampir. Kita jarang bertemu," kata Raka sambil tersenyum.

Namun, setelah Gilang pergi, Raka menatap Alya dengan tatapan penuh tanya. "Ada apa? Kamu kelihatan tegang."

"Tidak ada apa-apa," jawab Alya cepat.

Namun, Raka tidak sepenuhnya percaya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia memutuskan untuk tidak menekannya lebih jauh.

---

Surat yang Tak Tersampaikan

Beberapa hari kemudian, Alya menerima sebuah surat dari Gilang. Surat itu tidak diserahkan langsung, melainkan diletakkan di kotak surat rumah mereka.

Dalam surat itu, Gilang mengungkapkan semua perasaannya. Ia meminta maaf karena telah mengganggu kehidupan Alya, tetapi ia juga mengatakan bahwa ia tidak bisa berhenti mencintainya.

Alya membaca surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia tidak seharusnya menyimpan surat itu, tetapi ia tidak bisa memaksa dirinya untuk membuangnya.

Malam itu, Alya menyembunyikan surat itu di laci meja kerjanya. Namun, ia tidak tahu bahwa Raka tanpa sengaja melihatnya saat ia membuka laci tersebut.

---

Kebenaran yang Mulai Terungkap

Raka tidak mengatakan apa-apa tentang surat itu pada awalnya. Ia mencoba menenangkan dirinya dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Beberapa hari kemudian, Raka menemukan alasan untuk membuka surat itu saat Alya sedang tidak di rumah. Saat membaca isi surat itu, ia merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya.

Ketika Alya pulang, Raka langsung menatapnya dengan wajah yang penuh emosi.

"Apa ini?" tanya Raka sambil mengangkat surat itu.

Alya merasa seperti kehilangan udara. "Aku bisa jelaskan."

"Jelaskan apa? Kenapa Gilang menulis surat seperti ini untukmu?"

Alya mencoba menjelaskan, tetapi kata-katanya terdengar lemah bahkan di telinganya sendiri.

"Alya, apakah kamu mencintainya?" tanya Raka dengan suara yang bergetar.

Alya tidak bisa menjawab.

Konfrontasi di ruang tamu malam itu menjadi titik balik dalam hubungan Alya dan Raka. Setelah mendengar pertanyaan Raka yang begitu langsung—apakah kamu mencintainya?—Alya hanya mampu berdiri diam. Bibirnya gemetar, tetapi tidak ada kata yang keluar.

"Jawab aku, Alya," desak Raka. "Apakah ada sesuatu antara kamu dan Gilang?"

Alya menatap Raka, matanya berkaca-kaca. "Tidak... Aku... aku hanya bingung, Raka."

"Ini bukan jawaban yang aku butuhkan!" bentak Raka. Suaranya memecah keheningan, membuat Alya tersentak.

---

Raka yang Pergi

Setelah beberapa menit keheningan yang menyakitkan, Raka akhirnya mengambil kunci mobilnya.

"Aku butuh waktu untuk sendiri," katanya singkat sebelum pergi meninggalkan rumah.

Alya hanya bisa berdiri di depan pintu, menatap punggung Raka yang menjauh. Air matanya mulai mengalir, tetapi ia tidak mencoba menghentikan suaminya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Raka tidak salah untuk merasa marah.

Setelah Raka pergi, Alya merasa rumah menjadi begitu sunyi. Ia duduk di sofa ruang tamu, memandangi surat Gilang yang masih tergenggam di tangannya. Surat itu seperti simbol dari semua kebingungannya—cinta, kesetiaan, dan pengkhianatan yang saling bertabrakan dalam hatinya.

---

Pertemuan dengan Gilang

Beberapa hari kemudian, Alya memutuskan untuk menemui Gilang di sebuah kafe kecil yang jauh dari pusat kota. Ia tahu bahwa ia harus menyelesaikan semuanya, tetapi ia tidak tahu bagaimana memulainya.

Ketika Gilang tiba, ia tampak cemas. "Kak Alya, ada apa? Kamu kelihatan... lelah."

Alya menarik napas panjang. "Raka menemukan suratmu."

Wajah Gilang berubah tegang. "Apa yang dia katakan?"

"Dia marah, tentu saja. Dan aku tidak bisa menyalahkannya."

"Kak, aku tidak bermaksud membuat semuanya menjadi sulit untukmu."

"Ini bukan salahmu, Gilang. Tapi hubungan ini... apa pun yang kita rasakan... harus berhenti di sini."

Gilang menatap Alya dengan ekspresi terluka. "Apakah itu benar-benar yang kamu inginkan?"

Alya merasa hatinya sakit. "Ini bukan soal apa yang aku inginkan, Gilang. Ini soal apa yang benar."

---

Raka Kembali

Malam itu, Raka kembali ke rumah. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan seperti sebelumnya.

"Kita perlu bicara," katanya singkat.

Alya mengangguk dan duduk di ruang tamu bersama Raka.

"Alya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Gilang. Tapi aku merasa... aku kehilanganmu."

Kata-kata itu menghantam Alya seperti tamparan. Ia ingin menyangkal, tetapi ia tahu bahwa Raka benar.

"Aku juga merasa kehilangan," kata Alya pelan.

Raka menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. "Apakah kamu masih mencintaiku, Alya?"

Alya terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku mencintaimu, Raka. Tapi aku merasa kita sudah tidak seperti dulu lagi."

Raka mengangguk perlahan. "Mungkin kita perlu bantuan. Mungkin kita perlu bicara dengan konselor pernikahan."

Alya terkejut dengan usul itu, tetapi ia menyadari bahwa Raka benar. Jika mereka ingin menyelamatkan pernikahan mereka, mereka harus mencoba segala cara.

---

Awal Pemulihan

Beberapa minggu berikutnya, Alya dan Raka mulai menjalani sesi konseling pernikahan. Awalnya, semuanya terasa canggung. Mereka berbicara tentang perasaan mereka di hadapan seorang konselor yang tidak mereka kenal.

Namun, perlahan, sesi-sesi itu membantu mereka untuk membuka diri. Raka mengakui bahwa ia terlalu fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan kebutuhan Alya. Sementara itu, Alya mengakui bahwa ia merasa kesepian dan rentan.

"Kesetiaan bukan hanya soal tidak mengkhianati secara fisik," kata konselor mereka suatu hari. "Kesetiaan juga soal menjaga hubungan emosional, dan itu membutuhkan usaha dari kedua belah pihak."

Kata-kata itu membekas di hati Alya. Ia mulai menyadari bahwa meskipun ia tidak pernah benar-benar melangkah lebih jauh dengan Gilang, ia telah mengkhianati Raka secara emosional.

---

Gilang yang Pergi

Setelah beberapa sesi konseling, Alya merasa lebih kuat untuk menghadapi Gilang. Ia menghubungi Gilang untuk terakhir kalinya, meminta bertemu di taman tempat mereka sering berbicara sebelumnya.

"Aku hanya ingin bilang bahwa aku berterima kasih atas semua perhatianmu," kata Alya. "Tapi aku harus fokus pada pernikahanku sekarang."

Gilang menatapnya dengan mata yang penuh kekecewaan, tetapi ia tidak mencoba membantah. "Kalau itu yang membuatmu bahagia, aku akan pergi."

Alya merasa hatinya hancur saat melihat Gilang berjalan menjauh, tetapi ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang benar.

Pernikahan yang Diperjuangkan

Setelah perpisahan dengan Gilang, Alya dan Raka terus bekerja keras untuk memperbaiki hubungan mereka. Mereka mulai meluangkan waktu lebih banyak untuk satu sama lain, melakukan hal-hal kecil yang mereka lewatkan selama bertahun-tahun terakhir.

Pada suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon rumah mereka, Raka menggenggam tangan Alya.

"Aku tidak akan pernah sempurna, Alya," katanya. "Tapi aku akan terus mencoba menjadi suami yang lebih baik untukmu."

Alya tersenyum, air matanya mengalir. "Aku juga akan terus mencoba, Raka."

Meski Alya dan Raka memutuskan untuk memperjuangkan pernikahan mereka, jalan menuju pemulihan tidaklah mudah. Luka-luka emosional yang telah tercipta di antara mereka masih terasa, seperti duri yang terus menusuk tanpa henti.

Alya sering merasa cemas. Meski ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk meninggalkan perasaan terhadap Gilang, bayangan pria itu masih muncul dalam pikirannya. Di sisi lain, Raka juga berjuang melawan rasa curiga yang terus menghantuinya.

---

Kehidupan Sehari-Hari yang Renggang

Hari-hari mereka kembali seperti biasa, tetapi suasana dalam rumah terasa berbeda. Raka lebih sering berusaha memperlihatkan perhatiannya kepada Alya, tetapi terkadang perhatian itu terasa dipaksakan, seolah hanya untuk memastikan Alya tetap di sisinya.

Suatu malam, saat mereka sedang menonton televisi bersama, Raka tiba-tiba bertanya, "Alya, apa kamu masih memikirkan dia?"

Alya terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menoleh ke arah Raka dan melihat ketulusan serta kesedihan di matanya.

"Tidak," jawab Alya cepat. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa jawaban itu belum sepenuhnya jujur.

---

Pertemuan yang Tak Sengaja

Pada suatu hari, ketika Alya sedang berbelanja di supermarket, ia tak sengaja bertemu dengan Gilang. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Gilang," sapa Alya, mencoba terdengar biasa saja.

Gilang tersenyum tipis. "Hai, Kak Alya. Apa kabar?"

Alya merasa canggung. "Baik. Kamu sendiri?"

"Seperti yang kamu lihat," jawab Gilang sambil mengangkat bahu.

Percakapan mereka berlangsung singkat, tetapi cukup untuk membuat hati Alya kembali gelisah. Saat pulang ke rumah, ia tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan itu.

---

Ketegangan yang Meningkat

Malam itu, Raka merasa ada yang berbeda dari Alya.

"Kamu kenapa? Kelihatan tidak fokus," tanya Raka saat mereka makan malam.

"Tidak apa-apa. Aku hanya lelah," jawab Alya sambil menghindari tatapan Raka.

Namun, Raka tidak mudah percaya. "Alya, aku ingin kamu jujur padaku. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, katakan."

Alya merasa tertekan oleh pertanyaan itu. Ia tahu bahwa ia harus mengatakan yang sebenarnya, tetapi ia takut reaksi Raka.

"Raka, aku bertemu dengan Gilang tadi siang. Tidak sengaja," katanya akhirnya.

Ekspresi wajah Raka berubah tegang. "Dan apa yang kalian bicarakan?"

"Tidak banyak. Hanya sapaan biasa," jawab Alya.

Raka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Alya, aku ingin percaya padamu. Tapi aku butuh kamu juga untuk menunjukkan bahwa aku bisa percaya."

---

Kehadiran yang Menghantui

Setelah pertemuan di supermarket, Alya mulai merasa bahwa Gilang masih menjadi bayang-bayang dalam kehidupannya. Meski ia tidak berniat untuk menghubungi Gilang lagi, ia merasa sulit untuk benar-benar melepaskan perasaan yang pernah tumbuh untuk pria itu.

Di sisi lain, Raka mulai merasa semakin terobsesi untuk memastikan bahwa Alya tidak akan mengkhianatinya lagi, meskipun secara emosional. Ia sering memeriksa ponsel Alya secara diam-diam, berharap menemukan bukti yang akan meyakinkan dirinya bahwa semua telah berakhir.

---

Kehidupan Pernikahan yang Berubah

Sesi konseling yang mereka jalani tetap berjalan, tetapi hasilnya tidak secepat yang diharapkan. Konselor mereka, Ibu Ratna, mulai menyarankan agar mereka mencoba membangun kembali keintiman yang hilang di antara mereka.

"Kalian perlu mengingat mengapa kalian jatuh cinta satu sama lain di awal," kata Ibu Ratna dalam salah satu sesi mereka.

Saran itu membuat Alya dan Raka mulai mengingat masa-masa indah mereka dulu. Mereka mulai meluangkan waktu untuk kencan sederhana, seperti makan malam di restoran atau menonton film bersama.

Namun, meskipun usaha itu ada, rasa canggung tetap menghantui hubungan mereka.

---

Keputusan Besar

Beberapa bulan setelahnya, Raka tiba-tiba mengusulkan sesuatu yang mengejutkan.

"Alya, bagaimana kalau kita pindah ke luar kota?"

Alya terkejut. "Pindah? Ke mana?"

"Ke Jogja. Ada tawaran pekerjaan di sana, dan aku pikir ini bisa menjadi awal baru untuk kita."

Alya ragu sejenak. Ia tahu bahwa pindah bisa menjadi kesempatan untuk memulai kembali, tetapi ia juga merasa takut meninggalkan zona nyaman yang sudah ia kenal.

"Ini bukan keputusan kecil, Raka," katanya akhirnya.

"Aku tahu. Tapi aku pikir kita butuh perubahan."

Setelah mempertimbangkan dengan matang, Alya akhirnya setuju.

---

Pindah dan Awal Baru

Kehidupan di Jogja terasa seperti angin segar bagi mereka. Suasana kota yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk Jakarta membantu mereka untuk lebih fokus pada hubungan mereka.

Namun, masalah tidak sepenuhnya hilang. Ada momen-momen ketika Alya masih merasa rindu pada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan, dan ada saat-saat ketika Raka masih merasa cemburu tanpa alasan yang jelas.

Meski begitu, mereka terus berusaha. Alya mulai aktif mengikuti kegiatan komunitas di lingkungan baru mereka, sementara Raka mencoba lebih banyak melibatkan Alya dalam kehidupannya.

Posting Komentar

0 Komentar