Agak gemetar tanganku ketika mulai mengelus punggung telanjang Febi, dengan susah payah, meskipun biasanya cukup dengan tiga jari, aku berhasil melepas kaitan bra yang ada di punggung. Masih tetap berciuman kulepas bra-nya, tanganku masih gemetar ketika menyusuri bukit di dada Febi, begitu kenyal dan padat berisi, kuhentikan ciumanku untuk melihat keindahan buah dadanya, jantungku seakan berdetak 3 kali lebih cepat melihat betapa indah dan menantang kedua bukitnya yang berhiaskan puting kemerahan di puncaknya, I have no idea berapa orang yang sudah menikmati keindahan ini.
Desah kenikmatan Desi sudah tak kuperhatikan lagi, kuusap dan kuremas dengan lembut, kurasakan kenikmatan kelembutan kulit dan kekenyalannya, gemas aku dibuatnya. Febi menyodorkan buah dadanya ke mukaku, langsung kusambut dengan jilatan lidah di putingnya dan dilanjutkan dengan sedotan ringan, dia menggelinjang meremas rambutku. Belum puas aku mengulum puting Febi, Desi sudah turun dari pangkuanku, lalu kami pindah ke ranjang, Desi nungging mengambil mengambil posisi doggie, langsung kukocok dia dari belakang sambil memeluk tubuh sexy Febi. Kukulum puting kemerahannya untuk kesekian kalinya bergantian dari satu puncak ke puncak lainnya, Febi mendesis nikmat, inilah pertama kali kudengar desahan nikmat langsung darinya, begitu merangsang dan penuh gairah di telinga.
Tanpa kusadari, ternyata Febi sudah melepas celana dalamnya, aku kembali terkesima untuk kesekian kalinya, selangkangannya yang indah berhias bulu kemaluan yang sangat tipis, bahkan nyaris tak ada, sungguh indah dilihat. Gerakan pinggul Desi makin tak beraturan, antara maju mundur dan berputar, penisku seperti diremas remas di vaginanya, sungguh nikmat, kali ini Desi bisa bertahan lebih lama. Kami berganti posisi, aku telentang diantara kedua gadis cantik ini dengan penis yang masih tegak tegang menantang.
"Feb, gantian, kamu harus coba nikmatnya Om-mu" Desi mempersilahkan Febi, tapi aku menolak dan minta Desi segera naik melanjutkannya.
Terus terang, jauh di lubuk hati ini masih menolak untuk bercinta atau bersenggama dengan Febi, aku masih harus berpikir panjang untuk bertindak lebih jauh dari sekedar oral, saat ini belum bisa menerima untuk melanjutkan ke senggama atau tidak, aku belum tahu. Desi kembali bergoyang pinggul di atasku, Febi kuberi isyarat untuk naik ke kepalaku, dia langsung mengerti, kakinya dibuka lebar di depan mukaku, terlihat dengan jelas vaginanya yang masih kemerahan seperti daging segar, kepalaku langsung terbenam di selangkangannya, lidahku menyusuri bibir dan klitorisnya sambil meremas pantatnya yang padat, desahan Febi bersahutan dengan Desi. Seperti halnya Desi, kedua gadis ini menggoyangkan pinggulnya di atasku, vagina Febi menyapu seluruh wajahku. Febi mendesah keras dan tubuhnya menegang ketika kusedot vaginanya, hampir dia menduduki wajahku. Desi minta bertukar tempat, rupanya dia ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang aku berikan ke keponakanku. Kini vagina Desi yang basah tepat di atas mukaku, sementara Febi melepas kondom yang membalut penisku, membersihkan sisa cairan dari vagina Desi dengan selimut lalu mulai menjilatinya.
Rasa asin dari vagina Desi tak kuperhatikan, cairannya menyapu mukaku, sementara kemaluanku sudah mengisi rongga mulut Febi dengan cepatnya. Aku begitu asyik menikmati vagina Desi dengan lidahku, tanpa kusadari Febi sudah mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke vaginanya, aku baru tersadar ketika Febi sudah naik di atas tubuhku dan menyapukan penisku ke bibir vaginanya, aku harus mencegahnya, pikirku, karena masih belum memutuskan apakah harus melakukannya, hati kecilku masih belum menerima kalau aku bercinta dengan keponakanku sendiri
0 Komentar