“Baju bu” jawabku jujur.
“Kamu tidak perlu baju, taruh disana” katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.
Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.
“Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?” katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.
“Bagus, sekarang ikut ibu” perintahnya lagi padaku.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.
Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.
“Buka semua pakaian kamu!” katanya padaku setelah kami berada disana.
Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.
“Saya lihat kamu sudah tidak sabar” katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
“Benar begitu hah?” tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
“I.. Iya bu” jawabku.
“Diam!!” bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras. Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
“Kamu akan dihukum oleh karena itu” katanya ibu Anna kemudian.
Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.
“Ctarr”.
Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.
“Lari!” perintah ibu Anna.
Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4×4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.
Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.
“Auu!” jeritku sambil melompat kesakitan.
“Jangan bicara!” bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
“Lebih cepat!” sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.
Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.
“Stop” kata ibu Anna tiba-tiba...
0 Komentar