Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Aku tergoda sepupu suamiku part 3

Kehidupan Alya dan Raka di Jogja membawa perubahan besar, tetapi tidak semua perubahan itu terasa mudah. Bagi Alya, kota baru ini seperti labirin yang memaksanya mencari cara baru untuk menemukan dirinya sendiri. Sedangkan bagi Raka, pekerjaan barunya adalah pelarian, cara untuk mengalihkan pikirannya dari masalah yang belum sepenuhnya selesai.

Awalnya, Alya merasa terasing di lingkungan baru. Tetangga-tetangga mereka ramah, tetapi Alya sulit membaur karena rasa bersalah dan kebingungan yang terus menghantuinya.

Suatu sore, saat sedang menyiram tanaman di halaman, seorang tetangga bernama Bu Siska menyapa.

"Baru pindah, ya, Bu?" tanya Bu Siska dengan senyum hangat.

"Iya, Bu. Baru beberapa minggu," jawab Alya sambil tersenyum tipis.

"Kita sering ada arisan RT. Mungkin Ibu bisa ikut nanti. Biar lebih kenal dengan yang lain," ajak Bu Siska.

Alya mengangguk sopan, tetapi dalam hatinya, ia merasa ragu. Apakah ia benar-benar siap membuka diri pada orang-orang baru?


---

Raka yang Semakin Sibuk

Sementara itu, Raka tampak semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ia sering pulang larut malam, dan ketika di rumah pun, pikirannya tampak berada di tempat lain.

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Alya suatu malam saat mereka makan malam bersama.

"Capek, tapi aku suka. Banyak tantangan baru," jawab Raka sambil tersenyum singkat.

Alya mengangguk, tetapi ia tidak bisa mengabaikan rasa dingin yang masih menyelimuti percakapan mereka.


Meskipun sudah berada jauh dari Jakarta, bayangan Gilang tetap muncul dalam pikiran Alya. Ia bertanya-tanya bagaimana kabar pria itu sekarang. Apakah ia sudah melanjutkan hidupnya, ataukah ia masih terjebak dalam perasaan yang sama seperti dulu?

Rasa penasaran itu semakin membebani Alya, hingga suatu hari ia memutuskan untuk membuka media sosialnya dan mencari tahu kabar Gilang. Saat ia melihat foto terbaru Gilang, hatinya campur aduk.

Gilang terlihat tersenyum dalam foto itu, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Alya merasa bahwa pria itu belum benar-benar bahagia.

Alya menutup ponselnya dengan cepat, merasa bersalah karena telah membiarkan dirinya terjebak dalam kenangan yang seharusnya ia tinggalkan.


Meski telah pindah ke Jogja, Alya dan Raka tetap melanjutkan konseling mereka secara online. Dalam salah satu sesi, Ibu Ratna menanyakan bagaimana keadaan mereka setelah pindah.

"Bagaimana perasaan kalian sekarang?" tanya Ibu Ratna.

"Ada perbedaan, tentu saja," jawab Raka. "Tapi aku merasa masalah kami belum benar-benar hilang."

Alya mengangguk setuju. "Kadang aku merasa kita hanya menunda masalah, bukan menyelesaikannya."

Ibu Ratna tersenyum tipis. "Perubahan lingkungan bisa membantu, tapi itu bukan solusi ajaib. Hubungan kalian butuh waktu dan usaha untuk benar-benar pulih."


---

Kehadiran Teman Lama

Suatu hari, Alya mendapat pesan dari sahabat lamanya, Mira, yang kebetulan sedang berkunjung ke Jogja.

"Aku dengar kamu sekarang tinggal di Jogja. Yuk, ketemu!" tulis Mira dalam pesannya.

Alya merasa senang mendengar kabar dari Mira. Pertemuan mereka membawa sedikit kebahagiaan dalam hidup Alya yang belakangan terasa berat.

Saat bertemu di sebuah kafe, Mira langsung memeluk Alya erat.

"Aku kangen banget sama kamu! Gimana kabarmu?" tanya Mira penuh semangat.

Alya tersenyum. "Aku baik. Kamu sendiri gimana?"

Mira bercerita panjang lebar tentang kehidupannya, tetapi kemudian ia mulai mengajukan pertanyaan yang lebih pribadi.

"Alya, kamu kelihatan beda. Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Alya terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka diri. Ia menceritakan sebagian dari apa yang ia alami, tanpa menyebut nama Gilang secara spesifik.

Mira mendengarkan dengan seksama, kemudian menggenggam tangan Alya. "Kamu harus kuat, Alya. Kalau kamu sudah memutuskan untuk bertahan, jangan biarkan apa pun menghancurkan keputusan itu."


---

Perjalanan ke Borobudur

Beberapa minggu setelah pertemuan dengan Mira, Raka mengusulkan untuk melakukan perjalanan singkat ke Borobudur.

"Aku pikir kita butuh waktu untuk berdua saja," kata Raka.

Alya setuju, meski ia merasa sedikit canggung dengan ide itu.

Selama perjalanan, mereka mencoba berbicara tentang hal-hal ringan, tetapi suasana tetap terasa tegang. Namun, ketika mereka tiba di candi, suasana magis tempat itu membantu mereka untuk sedikit rileks.

"Aku lupa betapa indahnya tempat ini," kata Alya sambil memandang pemandangan di sekitar.

Raka tersenyum. "Kadang kita butuh mengingat kembali keindahan yang pernah kita abaikan."

Kata-kata itu terasa seperti metafora untuk hubungan mereka. Alya menyadari bahwa meskipun hubungan mereka penuh luka, masih ada sesuatu yang indah yang layak diperjuangkan.

Setelah perjalanan ke Borobudur, Alya merasa lebih yakin untuk melanjutkan hidupnya bersama Raka. Ia mulai membuka diri lebih banyak kepada suaminya, menceritakan perasaannya tanpa rasa takut dihakimi.

Di sisi lain, Raka juga mulai belajar untuk mempercayai Alya sepenuhnya. Meski rasa sakit karena pengkhianatan emosional itu masih ada, ia memutuskan untuk tidak membiarkan rasa sakit itu menghancurkan mereka.

Mereka memutuskan untuk merancang ulang visi pernikahan mereka.

"Aku ingin kita mulai dari awal," kata Raka.

"Aku juga," jawab Alya sambil menggenggam tangan suaminya.



Setelah perjalanan ke Borobudur, hubungan Alya dan Raka perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Keintiman yang dulu terasa asing kini mulai kembali hadir, meski masih terselip ketegangan di dalamnya. Mereka sadar, untuk benar-benar memperbaiki hubungan mereka, mereka perlu lebih banyak melibatkan hati dan juga hasrat yang dulu menyatukan mereka.

Malam itu, Alya memutuskan untuk memasak makan malam istimewa untuk Raka. Ia ingin menciptakan suasana yang lebih hangat di antara mereka, menghapus bayang-bayang dingin yang sering menyelimuti hubungan mereka belakangan ini.

Saat Raka pulang, aroma masakan langsung menyambutnya di pintu. "Kamu masak apa malam ini?" tanyanya sambil tersenyum kecil.

"Masakan kesukaanmu," jawab Alya dengan nada lembut.

Mereka makan malam bersama, berbicara ringan tentang pekerjaan dan hal-hal lain. Namun, di tengah percakapan, Alya merasakan sesuatu yang berbeda pada Raka. Tatapan matanya lebih lembut, lebih dalam, seperti seseorang yang mencoba menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang.

Setelah makan malam, Raka mengajak Alya duduk di balkon. Udara malam Jogja yang sejuk membalut mereka, menciptakan suasana yang intim.

"Alya," kata Raka pelan, "aku ingin kita mulai membangun kembali semuanya, dari dasar. Bukan hanya soal kepercayaan, tapi juga keintiman kita."

Alya menatap Raka, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa apa yang mereka alami tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga hasrat yang pernah menyala begitu kuat di antara mereka.

Hasrat yang Terpendam 
Selama berminggu-minggu, hasrat di antara mereka seolah terpendam oleh rasa takut dan ragu. Namun, malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, mereka mulai membuka diri.

Raka mendekati Alya, menyentuh tangannya dengan lembut. "Aku rindu... kita," bisiknya.

Alya merasakan sentuhan itu seperti aliran listrik yang menghidupkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur. "Aku juga," jawabnya pelan.

Sentuhan tangan mereka berubah menjadi pelukan yang dalam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa benar-benar terhubung, tanpa dinding atau keraguan yang memisahkan.

Di kamar mereka, malam itu berubah menjadi momen penuh kehangatan dan kejujuran. Hasrat yang dulu terpendam kembali menyala, membawa mereka lebih dekat dari sebelumnya.



Keesokan paginya, Alya terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada kehangatan di sampingnya, dan saat ia menoleh, ia melihat Raka yang masih tertidur dengan wajah tenang.

Ia menyadari bahwa malam sebelumnya adalah langkah besar bagi mereka. Bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal membuka hati dan menerima satu sama lain sepenuhnya.

Saat Raka terbangun, ia tersenyum pada Alya. "Selamat pagi," katanya dengan nada lembut.

"Selamat pagi," jawab Alya, merasa bahwa ini adalah pagi yang membawa harapan baru.

Malam itu menjadi awal dari perjalanan baru mereka. Alya dan Raka mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai sahabat.

Mereka sering menghabiskan waktu dengan kegiatan sederhana, seperti berjalan-jalan di sekitar lingkungan baru mereka atau menonton film bersama. Dalam momen-momen itu, mereka mulai menemukan kembali hasrat yang pernah mereka miliki.

"Alya, aku ingin kita tidak hanya hidup bersama, tapi benar-benar hidup untuk satu sama lain," kata Raka suatu malam.

"Aku juga ingin begitu, Raka," jawab Alya, merasa bahwa kata-kata itu adalah janji yang tulus.


Namun, meski mereka mulai membangun kembali hubungan mereka, kehidupan tidak berhenti memberikan ujian.

Suatu hari, Alya menerima pesan dari nomor tak dikenal. Ketika ia membukanya, ia terkejut melihat bahwa pesan itu berasal dari Gilang.

"Halo, Kak Alya. Maaf mengganggu. Aku hanya ingin tahu kabarmu," tulis Gilang.

Alya merasa hatinya campur aduk. Ia tahu bahwa membalas pesan itu bisa membuka luka lama, tetapi mengabaikannya juga terasa seperti tindakan yang kejam.

Setelah beberapa saat merenung, Alya memutuskan untuk tidak membalas. Ia menghapus pesan itu dan memutuskan untuk fokus pada apa yang benar-benar penting baginya—Raka dan hubungan mereka.

Namun, pesan itu tetap membekas di pikirannya, seperti bayangan yang sulit dihilangkan.

Meski terganggu oleh pesan itu, Alya berusaha keras untuk tidak membiarkan hal itu memengaruhi hubungannya dengan Raka. Ia mulai lebih banyak melibatkan dirinya dalam kehidupan suaminya, mencoba memahami dunia yang selama ini terasa asing baginya.

Raka, di sisi lain, juga menunjukkan usaha yang sama. Ia mulai lebih sering mengajak Alya untuk berbicara, bukan hanya tentang masalah, tetapi juga tentang mimpi-mimpi mereka.

"Apa yang kamu inginkan di masa depan?" tanya Raka suatu malam.

"Aku hanya ingin kita bahagia," jawab Alya dengan jujur.

"Kita akan sampai ke sana," kata Raka sambil menggenggam tangan Alya.

Posting Komentar

0 Komentar