Selama itu Niken dan Sandra rutin menemani Lila hingga ibu dan adik Lila pulang. Namun Lila meminta kedua temannya tak menyinggung masalah tersebut di hadapan mereka agar tak menimbulkan permasalahan baru baginya.
Niken merasa menyesal atas apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Tak banyak yang bisa ia katakan.Tetapi Ia lega melihat Lila bisa menerima musibah yang menimpa dirinya dan mau meneruskan hidupnya. Lila memang sudah terbentuk menjadi sebuah pribadi mandiri yang keras sejak remaja.
“Fi, besok kita pulang ke kota S. Bukankah kamu juga sudah terlalu lama meninggalkan sekolahmu? ” Ujar Donnie saat mereka makan malam disebuah rumah makan.
“Ya Kak…tapi…ijinkan malam ini Alfi menemui kak Lila buat meminta maaf padanya, Hati Alfi merasa tidak tenang sebelum kak Lila mau memaafkan kesalahan Alfi” pinta Alfi pada Niken.
“Haihhh….Baiklah Fi. Kakak tak tahu ini merupakan waktu yang tepat atau bukan buatmu menemui Lila walau kulihat tadi sore suasana hatinya agak membaik dan ia mulai bisa tersenyum. Hanya saja pesan kakak padamu apabila ia ternyata tak ingin menemuimu sebaiknya kau langsung pergi jangan membuatnya kembali marah atau sedih”ujar Niken lagi.
“Baiklah kak. Biar Alfi pergi sekarang ke sana mempergunakan kendaraan umum sendirian agar tak mengganggu acara kakak semua malam ini” ujarnya.
“Ya, jangan kemalaman pulang Fi dan jangan lupa berkemas buat pulang besok” ujar Didiet.
Alfi lalu mencarter sebuah ojek. Sepanjang perjalanan dalam hati ia berharap Lila mau menerima permintaanan maafnya meski apapun resiko yang akan diterimanya nanti.
Saat memasuki jalan ke rumah Lila, tiba-tiba sebuah mobil Jeep meluncur dengan kecepatan tinggi melintasinya dan nyaris saja ojek yang ditumpanginya terperosok kedalam saluran air pembuangan.
Alfi terkejut ketika sempat mengenali orang di dalam kendaraan itu.
“E..rik!” gumamnya, apalagi yang ia perbuat. Tiba-tiba ia teringat akan Lila. Alfi bergegas masuk kepekarangan rumah. Hatinya tercekat saat ia sampai di pintu depan. Ia menemukan Hp dan isi tas Lila berserakan di lantai teras. Alfi berlari ke dalam sambil berteriak memanggil nama gadis itu. Hatinya semakin kuatir karena tak ada jawaban. Dengan sigap Alfi memutar nomor Niken dari Hp tersebut.
“Kak Niken gawat kak! Sepertinya kak Lila diculik sama Erik!” ujarnya saat Niken mengangkat panggilannya.
“Apaaa! Ohh…La” isak tangis Niken terdengar dari seberang HP. Tak lama kemudian terdengar suara Donnie mengambil alih pembicaraan. Ternyata mereka berempat masih bersama-sama.
“Kau yakin akan hal itu Fi?!”
“Alfi ngga mungkin salah kak! Sebaiknya Alfi akan berusaha mengikuti mereka mumpung jam segini jalanan masih macet sehingga masih memungkinkan buat mengejar mereka”
“Jangan Fii! Itu sangat berbahaya!” cegah Donnie.
“Tapi kita harus tahu kemana kak Lila mereka bawa kak! Alfi akan kejar mereka dan Alfi akan terus menghubungi kakak melalui HP ini”
“Baiklah Fi. Tapi kau jangan bertindak sendiri, segera kabari kami apabila nanti kau berhasil mengikuti mereka dan tunggu sampai kami datang!” Donnie tak lagi mencegah anak itu karena ia tahu Alfi telah mengambil keputusan yang paling tepat.
“Bang! Ayo ikuti mobil yang tadi itu, mereka telah menculik kakakku” ujar Alfi setelah mengakhiri pembicaraan dengan Donnie.
Si abang ojek langsung tancap gas. Beruntung jalur ke arah jalan raya utama dari rumah Lila hanya ada satu dan harus melalui dua buah persimpangan besar yang memiliki durasi lampu merah panjang. Sehingga ia yakin ia dapat menyusul mereka. Pada simpangan pertama ia tak lagi melihat kendaraan yang dicarinya. Harapannya hanya tinggal satu ia bisa menemukan kendaraan tersebut di persimpangan kedua karena lampu merah di sana juga tergolong lama yaitu 6 menit. Benar saja ia melihat mobil Erik masih dalam posisi antrian.
“Yes! Berhasil” pikirnya
Ketika lampu beralih ke lampu hijau kedaraan satu persatu bergerak. Dan mereka dengan hati-hati membuntuti kemanapun mobil itu pergi. Setelah sepuluh menitan, Alfi melihat mobil Erik melambat dan masuk ke sebuah komplek pergudangan tua yang tak terpakai lagi. Alfi menyuruh ojek untuk berhenti pada jarak yang cukup jauh diluar pintu masuk. Ia lalu mengontak Donnie dan menjelaskan dimana lokasi tersebut.
“Ok, kakak tahu di mana itu. Kami akan segera ke sana. Ingat Fi jangan bertindak sendiri!” pesan Donnie lagi.
“Bang ini uang ojeknya dan ini tambahan karena saya ingin abang menolong saya” ujar Alfi ke pada abang ojek yang sejak tadi ikut-ikutan tegang mengikuti pristiwa itu.
“Waduhh…. saya takut jika harus menghadapi mereka den, soalnya siapa tahu mereka bawa senjata, sebaiknya kita lapor polisi saja dulu” saran abang ojek itu.
“Iya emang maunya saya seperti itu! Abang saya minta hubungi polisi di pos terdekat sementara saya menguntit mereka ke dalam sana”
“Hah..Jangan nekat den. Aden bisa celaka jika menghadapi mereka sendirian!”
“Aduhhh ..ni abang cerewet banget! Maka dari itu cepetan berangkat supaya saya tidak harus menghadapi mereka sendirian. Sebisanya saya akan tunggu abang kembali bersama polisi”
“I..i..ya Den, abang pergi sekarang, hati-hati jangan sampai ketahuan ya!” ujar si abang sambil terburu-buru menstater motornya lalu kembali tancap gas.
**************************
Alfi lalu masuk ke dalam kawasan tersebut. Suasana begitu gelap karena tak ada satupun lampu yang menyala. Pergudangan ini memang sudah lama tidak di pergunakan lagi. Alfi dengan sabar dan hati-hati mencari keberadaan mobil Erik. Setelah berjalan agak jauh akhirnya ia melihat kendaraan tersebut di parkir di depan sebuah rumah kecil. Alfi berjalan mengendap-endap. Ia bukan tak tahu resiko perbuatannya itu, yang jelas ia bakalan celaka apabila mereka mendadak memergokinya. Kemungkinan apa yang di katakana pak ojek tadi benar adanya bahwa Erik tidak sendirian dan bersenjata. Keadaan sekeliling komplek yang gelap sangat membantunya mendekat ke rumah tersebut. Nampak cahaya cukup terang berasal dari beberapa batang lilin dari dalam rumah. Alfi mengintip dari jendela samping melihat ke dalam rumah. Ternyata benar dugaannya ia melihat Lila terlentang di atas sebuah sofa reot dalam keadaan tangan terikat dan mulutnya tertutup oleh plester. Erik rupanya memang tidak sendirian, ia bersama dengan dua orang lainnya. Alfi dapat menebak kedua orang tersebut pastilah begundalnya pemuda itu. Sepertinya Erik merasa penasaran karena kegagalannya tempo hari, lalu menyusun rencana lain buat mendapatkan tubuh gadis itu. Sejak sore hari ia bersama dua orang begundalnya mengawasi rumah Lila dari kejauhan. Kebetulan saat itu Lidya sedang pergi mengantar ibu Lila. Lalu dengan cepat mereka menyergap Lila yang kala itu baru keluar dari rumah berniat dan hendak pergi.
“Bos boleh dong kami berdua dapat giliran setelah bos selesai nanti? He he” ujar salah satu begundal Erik yang bertubuh tambun bernama Parno nyengir.
“Aeesss!! Enak saja! Pergi sana jaga di pintu depan! bikin gue ilfeel saja Huh!” hardiknya “Dan kamu Min awasi pagar depan!”
“Siap.. boss” ujar Paimin, sepertinya si kurus ini lebih berdedikasi ketimbang temannya yang bertubuh tambun. Ia lalu keluar dari rumah buat melaksanakan perintah Erik.
Sedangkan si Parno ngeloyor lesu keluar dari kamar menuju ke pintu depan. Ia kecewa padahal sejak tadi ia benar-benar berharap bisa ikut mencicipi tubuh indah gadis itu meski hanya sisa dari Erik. Dari tempatnya berdiri ia masih berusaha agar dapat mengintip ke arah kamar tadi. Dasar nafsunya sudah naik ke ubun-ubun, setelah meletakan stick softballnya si Parno membuka reutsleting dan menurunkan celana jeansnya sebatas lutut, dalam keadaan berdiri ia mulai mengocok penisnya.
“He he.. kali ini kau tak dapat lolos lagi La. Tak perlu kau tangisi nikmati saja apa yang sebentar lagi bakal terjadi!” ujar Erik terkekeh-kekeh sambil mulai mencopot kancing kemejanya satu persatu.
Lila berusaha meronta dalam ketidak berdayaannya itu. Jeritannya terhalang oleh plester yang membekap erat mulutnya. Air mata gadis itu berderai membasahi pipi meratapi nasib malangnya. Melihat kondisi saat itu, Alfi jadi bingung harus berbuat apa. Ia masih ingat akan pesan Donnie tadi bahwa ia tidak boleh gegabah dan bertindak sendiri. Namun keadaan sudah sedemikian gentingnya. Jika ia tak bertindak sekarang sudah jelas semuanya menjadi terlambat. Akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk menolong Lila tanpa menunggu bantuan datang. Rasa bersalah dan sayangnya pada Lila mendorongnya untuk melakukan sebuah yang tindakan nekat. Sambil berusaha menekan rasa takutnya perlahan ia mengendap ke arah Parno yang sedang asik meloco. Parno yang saat itu sedang focus menatap paha Lila yang putih bersih itu dari kejauhan sungguh tak menyadari kehadiran Alfi di dekatnya. Alfi merasa ini merupakan sebuah kesempatan yang baik baginya. Perlahan ia mengatur kuda-kudanya, dan…Bukk!! Sekuat tenaga kepalan tangannya ia hantamkan tepat mengenai dua buah ‘telur pusaka’ milik Parno dari belakang. Tak percuma Donnie melatihnya memukuli genting hingga pecah saat belajar karate setiap sore.
“Adoowwwwhhhhhh …peee…cahhhhhhh!!!!
0 Komentar