.
Tiba tiba kudengar suara sandal yang diseret dan langkah mendekat, aku tersadar, dengan agak gugup aku menuju kamar mandi, bukannya menghentikan mereka. Kubasuh mukaku dengan air dingin, menenangkan diri seakan ingin terbangun dan mendapati bahwa itu adalah mimpi, tapi ini bukan mimpi tapi kenyataan. Cukup lama aku di kamar mandi menenangkan diri sambil memikirkan langkah selanjutnya, tapi pikiranku sungguh buntu, tidak seperti biasanya ide selalu lancar mengalir dari kepalaku, kali ini benar benar mampet. Ketika aku kembali melewati kamar itu menuju ruang tamu, kudengar tawa cekikikan dari dalam.
"Nggak apa Mas, ntar kan bisa lagi dengan variasi yang lain" sayup sayup kudengar suara manja keponakanku dari kamar, tapi tak kuhiraukan, aku sudah tak mampu lagi berpikir jernih dalam hal ini.
"Kok lama Om, mulas ya" Tanya Desi begitu melihatku dengan wajah lusuh, sambil menikmati lumpia entah yang keberapa.
Aku diam saja, duduk di sofa ruang tamu.
"Kamu bohong bilang Febi nggak ada, ternyata dia di kamar dengan pacarnya" kataku pelan datar tanpa ekspresi.
Dia menghentikan kunyahan lumpianya, diam tak menjawab, kupandangi wajahnya yang hitam manis, dia menunduk menghindari pandanganku, diletakkannya lumpia yang belum habis di meja tamu.
"Jadi Om memergoki mereka?" katanya pelan
"Ya, dan Om bahkan melihat apa yang mereka perbuat di kamar itu"
"Lalu Om marahi mereka? kok nggak dengar ada ribut?" Desi mulai penuh selidik
"Entahlah, Om biarkan saja mereka melakukannya" aku seperti seorang linglung yang dicecar pertanyaan sulit
"Ha?, Om biarkan mereka menyelesaikannya? Om menontonnya?" cecarnya
Aku makin diam, seperti seorang terdakwa yang terpojok, Desi pindah duduk di sebelahku.
"Om menikmatinya ya" bisiknya, tatapan matanya tajam menembus batinku.
"Entahlah"
"Tapi Om suka melihatnya kan?" desaknya pelan ditelingaku, kurasakan hembusan napasnya mengenai telingaku.
Aku mengangguk pelan tanpa jawab.
"Om"
Aku menoleh, wajah kami berhadapan, hanya beberapa millimeter hidung kami terpisah, kurasakan napasnya menerpa wajahku. Entah siapa yang mulai atau mungkin aku telah terpengaruh kejadian barusan, akhirnya kami berciuman. Kejantananku kembali menegang merasakan sentuhan bibir Desi, kulumat dengan penuh gairah dan dibalasnya tak kalah gairah pula.
Desi meraih tanganku dan meletakkannya di dadanya, kurasakan bukitnya yang lembut tertutup bra, tidak terlalu besar tapi kenyal dan padat. Kubalas meletakkan tangannya di selangkanganku yang sudah mengeras. Desi menghentikan ciumannya ketika tangannya merasakan kekakuan di selangkanganku, sejenak memandangku lalu tersenyum dan kembali kami berciuman di ruang tamu.
Tiba tiba aku tersadar, ini ruangan terbuka dan anak lain bisa muncul setiap saat, tentu ini tak baik bagi semua.
"Kita tak bisa melakukan disini" bisikku
"Tapi juga tak mungkin melakukan di kamarku" jawabnya berbisik
"Kita keluar saja kalau kamu nggak keberatan" usulku
"Oke aku panggil taxi dulu" jawab Desi seraya menghubungi taxi via telepon
Sambil menunggu taxi datang kami bersikap sewajarnya, Febi masih juga belum nongol, mungkin dia melanjutkan dengan pacarnya untuk babak berikutnya. Ternyata Desi membohongiku dengan mengatakan ke kantor supaya aku segera pergi, tapi kini dia bersedia menemaniku selama menghabiskan waktu. Dengan beberapa pertimbangan maka kubatalkan penerbanganku dan kutunda besok, aku ingin bersama Desi dulu. Kutawari Desi untuk memilih hotel yang dia mau, ternyata dia mau di hotel berbintang di daerah Simpang Lima. Akhirnya Taxi yang kami tunggu datang juga, Desi kembali ke kamar berganti pakaian dan membawa beberapa barang keperluan menginap, sekaligus pesan sama Febi kalau dia tidak pulang malam ini. Dia makin cantik dan sexy mengenakan kaos ketat dengan celana jeans selutut.
Kami mendapatkan kamar yang menghadap ke arah simpang lima, Desi langsung melepas kaos dan celananya hingga tinggal bikini putih, tampak body-nya yang sexy dan menggairahkan. Kupeluk tubuh sintal Desi, dia membalas memelukku sambil melucuti pakaianku, tinggal celana dalam menutupi tubuhku, kurebahkan tubuhnya di ranjang, kutindih tubuhnya dan kuciumi bibir dan lehernya, aku masih terbayang tubuh mulus Febi yang sedang dicumbui pacarnya, kalau dibandingkan antara Desi dan Febi memang keponakanku lebih unggul baik dari kecantikan maupun body-nya. Tanpa sadar sambil mencium dan mencumbunya aku membayangkan tubuh Febi, hal yang tak pernah terlintas sebelumnya.
Kami sama sama telanjang tak lama kemudian, aku mengagumi keindahan buah dada Desi yang padat menantang dengan puting kemerahan, kujilati dan kukulum sambil mempermainkan dengan gigitan lembut, dia menggeliat dan mendesis. Jilatanku turun menyusuri perut dan berhenti di selangkangannya, rambut tipis menghiasi celah kedua kakinya, meski berumur 23 tahun tapi rambut kemaluannya sangat jarang, bahkan seakan Cuma membayang. Desi berusaha menutup rapat kakinya, dengan kesabaran kubimbing posisi kakinya membuka, seakan aku sedang memberikan pelajaran pada muridku. Aku sangat yakin kalau ini bukan pertama kali baginya, vaginanya yang masih segar kemerahan seolah memceritakan kalau tidak banyak merasakan hubungan sexual, tapi aku tak tahu kebenarannya. Mata Desi melotot ke arahku ketika bibirku menyusuri pahanya dan dia menjerit tertahan ketika kusentuh klitorisnya dengan lidahku.
"aahh.. sshh.. ennaak Om, terus Om" desahnya meremas rambutku
0 Komentar