Bu nindi dan pembantu laki" nya
Di rumah yang mewah, di sebuah kota besar di Indonesia, tinggal seorang ibu rumah tangga cantik bernama Bu Nindi. Ia berusia 40 tahun, tetapi tampilan masih menggoda seperti seorang gadis 20an. Tubuhnya yang melengkung seperti buah-buah yang penuh, payudara yang menantang gravitasi, dan wajah yang membelah dua dunia antara kecantikan dan kejamuan, membuat semua orang yang melihat langsung jatuh cinta. Sebenarnya, Bu Nindi tidak perlu mengeluarkan banyak usaha untuk mempertahankan kecantikannya, karena dia memiliki kecantikan alami yang tidak pernah pudar.
Suaminya, Bapak Agus, adalah seorang pebisnis yang hebat dan sibuk sekali. Setiap hari, ia bergerak dari kantor satu ke kantor lain, memimpin jutaan karyawan dengan tangan besi di bawah bulu tangannya. Meski ia sering tidak ada di rumah, Bu Nindi tetap menjaga rumah dan keluarga mereka dengan sempurna. Ia merupakan penjaga rumah yang teladan, memasak masakan lezat, merawat anak-anak, dan membuat rumahnya menjadi tempat yang hangat dan nyaman bagi seluruh keluarganya.
Namun, di balik kecantikannya, Bu Nindi ternyata merasa kekurangan. Hari ini, dia mendapati diri dirinya tertarik pada pembantu pria baru yang ia minta dari desa neneknya. Pembantu ini bernama Joni, seorang laki-laki muda, kuat, dan ganteng. Ketika Joni masuk ke rumah, ia langsung merasakan adanya ketegangan di antara keduanya. Tubuh Joni yang bertubuh atletik dan bulat-bulatnya yang tampak kuat, membuat Bu Nindi merasakan sebuah keinginan yang ia tidak pernah alami sebelumnya.
Suatu sore, ketika Bapak Agus sedang bekerja di kantor sampai dini hari, Bu Nindi menemukan Joni sedang membersihkan lantai di ruang tamu. Lantai marmer itu berkilauan seperti matahari pada musim gugur, tetapi ia tidak bisa mengeluarkan pandangannya dari tubuh guncangan Joni. Kemaluan Joni yang terlihat melalui celana panjangnya, membuat Bu Nindi merasa lemas dan panas. Ia tersandung di situ, menonton-nonton pergerakan Joni yang begitu lazim.
Joni, yang merasa terlihat, tersenyum lebar. Ia tahu betul bahwa Bu Nindi tertarik padanya. Tetapi ia tidak pernah berharap akan perhatian yang sekuat ini. Berani, ia melihat-lihat ke arah Bu Nindi, dan melihat bagaimana wanita itu memerah-merahi wajahnya. "Maaf, Bu, saya tidak sengaja," ujar Joni, tetapi ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang tak dapat dihentikan.
Dari saat itu, Bu Nindi mulai merancang permainan erotis yang tidak akan pernah dibayangkan. Ia bertengkar dengan diri sendiri, antara kewajiban sebagai ibu dan keinginanSetiap hari, Joni tetap berkomitmen untuk melakukan tugasnya seperti biasa di rumah Bu Nindi. Dia tahu bahwa hubungan yang sedang terbentuk antara mereka adalah tak diterima dalam adat atau norma masyarakat, tetapi ketika dia melihat Bu Nindi keluar dari kamar dalam lingeri merah yang menutupi tubuhnya yang kekal, dia tidak dapat menolak impulsinya lagi. Lingeri tersebut mewangi tubuhnya seperti benang merah di atas kulit putih, menggambarkan sebuah keinginan yang membara di antara mereka.
Bu Nindi, yang merasa sangat kuat, menatap Joni dari arah atas tangga. Dia tersenyum tipis sambil menyilangkan rambut panjangnya yang menggantung di depan dada, sementara tangan lainnya di atas pinggangnya menempel kebawah, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang begitu seksual. Joni melihat pergerakan lingerinya yang sedikit menggulung di sekitar pinggang dan pantatnya yang tampak melalui kain tipis itu, membuat jantungnya semakin cepat.
Matahari masuk melalui jendela, membuat bayangan pada tubuh Bu Nindi. Bayangan-bayangan panjang dan tipis menari di dinding seperti lilin bergerak, membuatnya terlihat seksi dan misterius. Joni tak dapat mengelakan impian erotis yang terus bertumbuh di benaknya. Ketika ia melihat pantat Bu Nindi yang sedikit terlihat, ia merasakan kesegarannya berkapur-kapur di antara ketatnya celana panjang.
"Joni, tolong ambil espresso untuk aku," ujar Bu Nindi dengan suara yang merdu. Joni segera bergerak ke dapur, tetapi tubuhnya tetap tergesa oleh pemandangan seksual yang tersaji di depan mata. Di sana, ia melihat Bu Nindi membuat gerakan yang semakin menegaskan keinginannya. Bu Nindi bergerak seperti seekor kucing yang sadar bahwa ia adalah queen, mengekspresikan sensualitas alami dengan cara menggulung badan dan menggeser-geserkan kemaluan di sekitaran lingerinya.
Sementara itu, di dapur, Joni merasa kesulitan untuk mengambil napas. Dia merasakan ereksi yang kuat di bawah celana panjangnya. Matahari yang masuk melalui jendela menempel pada kulit Bu Nindi, membuatnya terlihat seperti permukaan kulit buah mangga yang matang. Joni merasa tubuhnya panas, seolah-olah dia sedang berada di dekat api.
Dengan hati-hati, ia mengambil espresso dari mesin pembuat minuman, sambil mencoba mengusir gambaran erotis yang menggenanginya. Ketika dia kembali ke ruangan, Bu Nindi sudah berada di sofa, dengan kaki panjangnya di atas meja rasa. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Joni hanya tetap berdiri di sana, menyajikan minuman kepada ibu rumah tangga yang begitu disayangi.
Tiba-tiba, Bu Nindi mengeluarkan kaki panjangnyJoni, yang masih merasa tergesa oleh keinginan yang tak dapat dielakkan, berusaha mempertahankan posisinya sebagai pembantu yang baik dan setia. Setiap gerakan yang ia lakukan, ia lakukan dengan hati-hati, takut jika Bu Nindi melihat ketegangan di antara kaki pijatannya. Ia memindahkan pandangan dari tubuh seksi Bu Nindi yang membuat darahnya mendidih, dan memfokuskan pada tugasnya, yakni mengambil espresso dari mesin minuman.
Ketika ia kembali ke ruang tamu, Bu Nindi tampak seperti tidak ada yang terjadi, tetapi Joni tahu bahwa ia telah membuat pilihan. Dia masuk ke ruangan dengan hati yang berdebar-debar, dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya seperti terikat oleh kekuatan gravitasi yang jauh lebih kuat daripada biasa. Bu Nindi, yang sexy sekali duduk di sofa, tampak seperti melihat-lihat ke arah Joni sambil memegang lingerinya yang sedikit terlihat di bawah kain pakaiannya.
Joni menerima espresso ke tangan Bu Nindi, dan sementara ia berdiri di depan wanita yang begitu menawan, ia merasakan panas tubuhnya bertambah. Tetapi, seorang pembantu yang baik seperti Joni tahu bahwa tugas dan kewajiban harus diutamakan. Ia berusaha untuk tetap sejajar dan tidak mengizinkan diri terhisap ke dunia fantasi erotis yang terbuka di hadapan mata.
Meski begitu, ia tidak bisa mencegah bagaimana wajah Bu Nindi berubah menjadi seksier saat ia menerima minuman. Bibirnya yang merah sekali membentuk sebuah senyum misterius, yang membuat Joni semakin tak tahan. Ia melihat cara Bu Nindi memegang gelas, tangannya yang halus seperti lilin, dan merasakan aroma harum dari tubuhnya. Setiap gerakan Bu Nindi, setiap napas dan setiap pergerakan tubuhnya, membuat Joni semakin sulit untuk tetap diam.
Namun, Joni tetap berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi. Ia tahu bahwa ia harus tetap seperti biasa, meskipun tubuhnya membicarakan hal yang lain. Ia berkeliling rumah, melakukan tugas-tugasnya seperti biasa, sambil terus-menerus mengusir pikiran lascivious yang terus muncul di benaknya. Ia merawat anak-anak, memasak, dan melakukan segala hal lain yang diharapkan dari seorang pembantu. Namun, di balik semua itu, ia merasa ada sebuah api tersembunyi yang mulai membara di antara mereka, dan ia takut sampai kapan saja ia akan terbakar oleh ketika-ketika itu.
Di sore itu, Joni terseret ke kamar Bu Nindi untuk mengambil buku yang diminta. Ketika dia masuk, dia menemukan wanita tersebut sedang berdandang, memanipulasi tubuhnya seperti sebuah dansa erotis, memperlihatkan sisinya yang semakin menarik. Bu Nindi, yang tampaknya sudah waspada akan kehadiran Joni, berhenti dan melihat pembantu itu dengan seksis. "Mau tonton sih?" ujar dia dengan suara yang melegak, sambil tersenyum tipis.
Joni sama sekali tidak berani berkata apa-apa, tetapi tubuhnya merasakan sebuah ketegangan baru. Dia melihat seksi pada Bu Nindi yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Payudara yang tegas seperti buah apel, dada yang menggembung, pantat yang bulat, dan kemaluan yang ketat seperti buah durian, membuat dia berkeringat. Dia menanggapi tawanan Bu Nindi dengan cara memegang kemaluan yang kian besar dan berdarah di celana panjangnya.
"Jangan malu, Joni," ujar Bu Nindi lembut, melihat ke arah alat vital yang berdiri kokoh di antara kaki Joni. "Kita orang dewasa, kan?"
Joni, yang merasa tidak punya pilihan lagi, terpaksa menyesal atas keputusan yang diambil. Tetapi, seolah-olah ia tak bisa mengontrol diri, ia langsung bergeser ke arah Bu Nindi. Kedua tubuh mereka terjumpa, dan Joni merasakan hangatnya dari badan wanita yang tidak pernah ia sentuh sebelum ini. Lengan Bu Nindi mecengkeram kepalanya, dan bibirnya menggigit bibir Joni yang ketat. Ciuman itu menyala seperti api di hutan jati, membakar semua rasa malu dan kekurangan percaya diri.
Tangan Joni pun bergerak sendiri, mengeluarkan kemaluan besarnya dari celana, sambil tangan lainnya menyelongkan badan Bu Nindi. Ia mengeluarkan payudara yang dibungkus ketat oleh lingeri merah itu, memperlihatkan buah dara yang bulat dan menggigit. Bu Nindi merasakan sebuah kepuasan yang tak pernah ada sebelum ini, seperti dibicarakan di cerita erotis yang ia baca-baca di sampul buku.
Keduanya jatuh ke ranjang besar, badan mereka saling menyentuh, dan kemaluan Joni terseliur di antara paha Bu Nindi yang kekar. Ia merasakan kelembutan dada Bu Nindi yang menyentu seperti lembutan bulu, sambil tangan wanita itu membacung kepala dia ke arah pantatnya. Joni merespon dengan cara menghisap payudara Bu Nindi yang keluar dari lingeri, dan dia merasakan rasa manis dari kulit yang dihiasi oleh minyak wangi.
Mereka bergerak seperti lautan yang tidak ada akhirnya, gelombang keinginan mereka terus bertumbuh. Bu Nindi merobek lendir Joni, mengeluarkan alat vital pembantu itu yang kian panas dan tajam. Dia menggigit kepalanya, sementaraTangan Bu Nindi bergerak ke arah kepala Joni, mengarah ke kemaluan yang tegas di antara kaki pembantu itu. Ia merasakan kesegarannya, kesegarannya yang membuatnya lemas. Tangan Joni mengeluarkan payudara Bu Nindi, menggigit putaran bulat dan keras sambil membuatnya merasakan sensasi baru. Kedua tubuh mereka terikat, badan mereka bergoyang seperti pohon kecil dalam angin malam.
"Masuk, Joni," ujar Bu Nindi dengan suara gugup. "Masuk... aku ingin itu..."
Joni, yang kini tak tahan lagi, meletakkan alat vitalnya di antara paha Bu Nindi. Ia melihat-lihat ke arah wajah wanita yang sedang berisik. Bibirnya basah dan terpegal, mata biru Bu Nindi berkilau seperti permata. Dia mengeluarkan kemaluan yang panjang dan tebal, membuat lubang ketat di antara paha Bu Nindi terlihat seperti matahari yang baru terbit.
Ketika dia memasukkannya, Bu Nindi terdiam. Kemaluan Joni masuk dengan lembut, sampai akhirnya terdengar suara kecil dari wanita yang sedang diperas oleh keinginan yang tak terbendung. Tubuh mereka terus bergerak, seolah-olah mereka adalah satu kesatuan, tak dapat dipisahkan.
Bu Nindi merayap ke atas tubuh Joni, menggantung kaki panjangnya di samping badan pembantu itu. Dada dan payudara mereka saling terkena, menciptakan suara basah yang menggoda. Bibirnya bercampur, lidah mereka berpindah-pindah, berlabuh, berpindah lagi, sambil kedua tangan Joni mengguling-gulingi dada wanita itu.
Tidak lama kemudian, Bu Nindi merasakan sebuah gelombang kepuasan yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia bercandaul dengan gairah, menyelongkar Joni ke dalam badannya. Dia merasakan dinding vaginalnya yang kuat, yang menggigit kemaluan pembantu itu, dan ia tahu bahwa ini adalah saatnya.
"Ya... ya... masuk... masuk!" ujar Bu Nindi dengan kekuatan yang tak bisa diragukan lagi.
Joni pun mengerang keras, memasukkan seluruh panjangnya ke dalam lubang yang menerima. Dia melihat wajah Bu Nindi yang terang, berkipas-kipas seperti ikan yang gugur ke dalam air. Wanita itu terlihat seperti sedang dalam mimpi yang paling indah, sementara tubuhnya terus bergerak, menerima segala yang Joni berikan.
"Aku... aku sudah tidak tahan!" keluar dari mulut Bu Nindi.
Terguncang oleh rasa yang tak pernah ia rasakan, Bu Nindi melepaskan kekuatan terakhir, merasakan gelombang kepuasan yang terus menerjang badannya. Suara gerangan yang keras dan panjang menggema di ruangan. Kedua tubuh mereka terlihat seperti satu, terikat dalam tarian erotis yang tak dapat dipisah.
Diam, mereka melihat-lihat satu sama lainMelihat wajah Bu Nindi yang glowing dari penuh kepuasan, Joni langsung merasakan adrenalin yang naik. Dia takut, takut sampai terlampau. "Maaf ya, Bu, saya harus keluar dari sini," ujar dia dengan suara yang agak remuk, "Kalau Bapak Agus pulang..."
Bu Nindi mengangguk, tersadar dari kehangatan yang mereka sampaikan. "Iya, iya, Joni," katanya sambil tersenyum lasciviously, "Kita tetap rahasia ini ya?"
Joni segera mengangguk, serius mengumpulkan pakaiannya yang tersebar di lantai kamar. Ketika ia melepas tubuhnya dari atas kasur, dia merasakan kenyamanan yang tinggal di lubang keluarannya. Dia melihat Bu Nindi yang masih merasa lemas, berkulit putih seperti lilin, tetapi di balik kecantikan itu, ada sebuah kekuatan yang mengancam.
"Selamat ya, Bu," kata Joni sambil mengeluarkan kemaluan besarnya dari dalam vagina yang ketat, "Saya akan selalu rahasia ini."
"Terima kasih, Joni," ujar Bu Nindi, melihat ke arah pembantu yang kini kembali memakai celana panjangnya. "Kalau Bapak Agus tahu, dia pasti marah sekali."
Joni sambil memakai kaus, mengangguk. "Maaf ya, Bu, saya tidak pernah berpikiran seperti ini," katanya dengan sungguh-sungguhnya, "Tapi, ketika tubuh kita saling bertemu..."
"Tak apa, Joni," tukar tawan Bu Nindi, "Kita semua punya keinginan. Aku juga suka banget."
Melihat kondisinya yang masih gemburuan, Joni tersadar bahwa ia tidak bisa keluar dari kamar sekarang. Dia harus menunggu sampai tubuh Bu Nindi pulih. "Saya tunggu sampai tubuhmu baik ya, Bu," katanya, "Kalau Bapak Agus pulang..."
Bu Nindi tersenyum tipis, "Tunggu aja, Joni. Kalau Bapak Agus pulang, kita tinggal berkata ini adalah kebetulan."
"Ya, Bu," jawab Joni, berkursi di samping kasur.
Mereka tersandung waktu, saling melihat-lihat, sambil Joni merasakan tubuhnya yang masih panas. Dia tahu bahwa ini adalah awal dari cerita yang tak akan berakhir sampai terjadi kemudian. Ketika mereka berpikiran untuk bertarung, mereka hanya bisa menunggu dengan gelap.
Melihat Joni yang keluar dari kamar, Bu Nindi merasakan sebuah ketidak enakan di hatinya. Dia merasakan rasa bersalah, tetapi rasa kepuasan yang ia dapat dari pembantu itu, membuatnya lupa sama sekali. Dia berkata pada diri sendiri bahwa ini adalah hanya kali satu, dan ia tak akan melakukan lagi. Namun, di balik kecantikannya yang menipu, ia tahu bahwa ini hanya awal.
0 Komentar