?Sekarang kita nikmati saja, bu? hamil urusan nanti.? Gocohannya tambah keras dan aku malah semakin menggigil merasakan nikmat syahwat itu sampai ke ubun-ubun. Ketakutan akan kehamilan pun jadi terlupakan.
Bima mendorongku telentang ke ranjang dan dia lalu jadi joki piawai. Mengolah gerakan pantatnya, zakarnya keluar masuk, naik turun, mencangkul, menusuk, mengobrak-abrik memekku sampai akhirnya dia menekan sangat keras dan crooot? crooot? crooot? cruuut? cruut? cret?!! Sperma hangat mengaliri rahimku dan akupun mengejan berkejat-kejat lagi menumpahkan mani. Memeluk punggung dan pahanya erat-erat. Kami mencapai puncak bersamaan. Dan ini kali pertama zakarnya bersarang di vaginaku tanpa bisa kularang karena aku juga menginginkan. Resiko hamil kujadikan urusan belakang.
Kenikmatan itu terus kami reguk setelah mandi dan makan malam. Semalaman lagi kami bergumul memanjakan syahwat hingga terdengar sirene kapal memberitahukan bahwa pelabuhan tujuan sudah kelihatan. Namun untuk mencapai pelabuhan itupun masih perlu waktu dua jam lagi dan itupun terus kami gunakan mereguk madu nafsu di kapal itu. Kami biarkan penumpang lain turun lebih dulu supaya mereka tidak melihat tubuh dan wajah kami yang kusut masai pucat pasi kehabisan mani.
Setelah itu dua bulan aku menemani anakku di Irian Jaya, dan dua bulan itu pula kami secara sembunyi-sembunyi terus berzinah. Demikian pula sewaktu Bima mengantarku pulang ke Jawa Timur, kami memilih naik kapal laut lagi, bahkan kami sempat menginap tiga hari di hotel Surabaya sebelum pulang ke rumah. Tahun depan, aku berharap Bima mau menjemputku untuk menengok anakku lagi. Setelah merasakan kelelakian Bima, rasanya aku jadi tak kuat ?puasa? berlama-lama. Aku tak mau dengan laki-laki lain. Dan kukira aku harus segera sterilisasi untuk mencegah kelahiran anakku sekaligus cucuku.
0 Komentar