Ad Code

Responsive Advertisement

NYAI RATNI PART 1


” suara merdu ummahat berkacamata yang tetap tampak manis di umurnya yang kian senja itu mengmasiri sebuah program kuliah subuh di salah satu stasiun radio swasta. Sembari tersenyum kepada operator sound di hadapannya, ia pun melepas headset yang membelit bagian atas dari jilbab kuningnya. Sembari membetulkan sedikit posisi kacamata minusnya, wanita setengah baya yang usia 57 tahun itu pun menggapit tas tangan kulit dengan tangan kanannya dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Sebelum keluar, sang operator sempat memajukan tangannya untuk mengajak ustadzah itu bersalaman. Ustadzah itu pun menyambut tangan sang operator tanpa menyentuhnya sedikitpun sambil tetap menundukkan pandangan dan bergumam, “Assalamualaikum.” Tapi hal itu sudah cukup membuat sang operator menelan ludahnya karena terpana akan keindahan gundukan kembar di dada sang ustadzah yang sekilas tercetak di jubahnya ketika ia menunduk.

Baru saja keluar ruang siaran, sang ustadzah berkacamata itu langsung disambut oleh seorang laki-laki berjanggut tipis yang berumur sekitar 27 tahun. Tubuhnya begitu kekar dan tegap dibalut baju koko hijau muda, peci putih, dan celana panjang hitam dari bahan kain. Hidungnya yang mancung dan tulang pipinya yang kokoh memperkuat aura keshalihan dan kelelakiannya yang pasti menarik setiap wanita yang melihatnya termasuk ummahat berjilbab panjang di hadapannya yang tengah berdesir sedikit darahnya berhadapan dengan ikhwan yang jelas lebih tampan, lebih tegap, dan lebih muda dari suminya kini. “Assalamualaikum, Nyi,” ujar lelaki itu membuka suara.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, apa kabar mas Tatang?” Jawab sang ustadzah yang baru selesai siaran itu.

“Alhamdulillah ana bi khoir, Nyi. Saya baik-baik saja. Bagaimana tadi siarannya?” Lelaki tampan yang ternyata bernama Tatang itu sengaja atau tidak kian mendekat ke tubuh mungil lawan bicaranya yang tampak begitu alim dan lembut itu.

Jantung sang ustadzah itu berdetak lebih kencang dari keadaan normal menyadari gerakan ikhwan tersebut, wajahnya kian tertunduk, walau tanpa bisa dipungkiri, ketampanan dan aura kejantanan yang terpampang jelas di wajah Tatang membuatnya tak bisa menahan diri untuk mencuri-curi pandang pada Tatang, “Aa…aall…alhamdulillah, lancar-lancar saja masi.” Ia pun sampai tergagap-gagap karenanya.

“Krriiiing….krriiiing….,” sebuah bunyi dari handphone di kantong sang ustadzah pun menetralisiri situasi yang hampir tak terkendali itu, sampai-sampai sang ustadzah itu pun menghela nafas panjang saking leganya. Ia merasa Allah telah menyelamatkannya dari hawa nafsu yang hampir tak bisa ditahannya itu. Ia bergeser dan sedikit berpaling ke sebelah kanan,”sebentar ya, mas.”

“Iya, Tafadhol. Silahkan, Nyaii.”

“Assalamualaikum,” ujar sang ustadzah memberi salam pada lewan bicaranya di telepon yang telah amat dikenalnya.

“Waalaikumsalam, Ibu. Habis siaran ya? Kapan kamu kembali ke Bandung?” Tanya seorang lelaki dengan logat sunda-nya yang khas di ujung telepon.

“Hmm…kayaknya baru malam ini, A. Nanti mau ke rumah Ummu Abdillah dulu di Radio Dalam. Memang ada apa A? Kapan pulang?” Jawab ustadzah tersebut dengan suara yang sedikit dilembut-lembutkan karena lawan bicaranya itu adalah sang suami tercinta. Namun itu sudah cukup membuat Tatang yang tanpa ia sadari terus memandangi wajah putih sendunya yang beitu mempesona sedikit bergetar imannya. Sebagai lelaki, Tatang pun tak bisa bohong bahwa ummahat di hadapannya masih terlihat menarik walau telah memiliki beberapa orang anak.

“Nggak ada apa-apa kok, tapi kayaknya Aa sama Rini bakal lebih lama di sini. Masih banyak yang harus diselesaikan. Jadi tolong jaga anak-anak ya, nggak apa-apa kan, teteh?” Lelaki yang dipanggil Aa tadi menjelaskan.

Walau hatinya sedikit perih, namun ia memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan itu sekenanya, “Owh, nggak apa-apa kok, A. Ratni nggak apa-apa di sini. Biar Ratni yang urus anak-anak. Ya sudah, A, lagi buru buru, assalamualaikum.” Ustadzah yang ternyata bernama Ratni itu langsung menutup telepon tanpa basa-basi lagi.

Ya, ustadzah yang baru saja siaran itu adalah Teh Ratni, istri pertama seorang Kiyai yang alim dan begitu cantik. Saat ini, Sang Suami tengah berada di Surabaya bersama Rini, istri kedua-nya, guna suatu urusan dakwah. Dan baru saja suaminya itu menelepon karena urusan itu menuntut tambahan waktu. Walau ia sudah berusaha untuk ikhlas, namun Teh Ratni hanyalah seorang wanita biasa yang punya rasa cemburu dan butuh perhatian. Sudah satu bulan Suaminya berada di Surabaya bersama Rini, madunya itu. Dan selama sebulan pula Ibu Ratni terlarut dalam kesendirian. Tak hanya fisiknya yang lelah, batinnya pun lelah, rindu belaian mesra sang suami yang dicintainya.

Seperti tahu benar hal itu, Tatang kembali menggeserkan tubuhnya mendekati Teh Ratni. Dengan penuh aura kelelakian, ia pun membisiki telinga kiri Bu Ratni,” Nyai keliatan capek, istirahat saja dulu di ruangan saya, sebentar saja.”

Bagaikan tersihir, Bu Ratni pun menganggukkan kepalanya dengan anggun. Ummahat yang begitu indah dipandang inipun menggoyang-goyangkan bongkahan pantatnya yang tercetak jelas di bagian belakang jubah putihnya mengikuti Tatang. Goyangan yang sedikit erotis dan menggairahkan itu sudah pasti mampu menggugah iman setiap lelaki yang memandangnya. Walau telah beberapa kali melahirkan anak lewat vaginanya yang mungil nan imut, tubuh Nyai Ratni tetap terlihat seksi dan menggairahkan. Ia adalah sosok perempuan sunda yang mampu menjaga bentuk tubuhnya walau telah termakan usia. Walau telah berusaha menutup diri dengan jubah dan jilbab panjang berwarna kuning, tonjolan payudara Nyai Ratni yang alim dan shalihah ini dapat kita lihat jelas, begitu montok dan berisi, mengundang setiap insan untuk meremas-remasnya. Apalagi pagi ini ia memakai jubah yang lebih ketat dari biasanya.

Begitu melihat Tatang memasuki sebuah ruangan, Nyai Ratni pun berhenti sejenak. Sesaat ia membaca papan nama di depan ruangan tersebut, “Tatang Zaidi, Kepala Divisi Da’wah dan Syari’at Islam.” Dengan perasaan tenang, karena yakin Tatang yang baru dikenalnya di stasiun radio ini sejak sebulan yang lalu itu adalah seorang ikhwan yang baik-baik, Nyai Ratni pun memasuki ruangan yang hanya berukuran 6 x 4 meter itu. Tanpa disuruh, Nyai Ratni langsung duduk di sofa yang berada di dekat pintu. Seperti kata Tatang tadi, Nyai Ratni memang sedang lelah. Tak hanya lelah fisik, tapi juga lelah batinnya.

“Nyai Ratni Mau minum apa?” tanya Tatang berbasa-basi sambil berjalan menuju dispenser. “Teh manis, mau?”

“Boleh, mas. Gulanya sedikit saja ya,” ujar Nyai Ratni sambil meletakkan tas tangannya di atas meja kaca di depannya. Ia tak merasa canggung sedikitpun. Walaupun ia hanya berdua saja dengan seorang lelaki yang notabene bukan mahromnya di ruangan itu, namun pintu ruangan itu dibiarkan terbuka oleh Tatang. Ia pun semakin yakin bahwa Tatang tak akan berbuat macam-macam pada dirinya.

Tatang segera pergi ke dapur mengambil minuman segar agar tamu istimewanya ini tak menunggu terlalu lama, Tatang langsung saja membawakan cangkir putih berisikan teh manis itu dan meletakkannya di depan ummahat berparas manis nan berbodi indah itu. “Silahkan teh manisnya, Nyi.”

“Iya, syukron ya mas. Terima Kasih,” ujar Bu Ratni. Ia langsung meraih pegangan cangkir yang dihidangkan di hadapannya itu sembari menyeruput perlahan teh manis yang begitu nikmat itu dengan bibirnya yang mungil dan berwarna merah muda. Sedikit demi sedikit, Ibu Ratni menghabiskan teh manis yang terasa begitu lezat di permukaan lidahnya itu. Ia rasakan tubuhnya terasa panas seketika dan sedikit bergetar, namun ia membiarkannya. Mungkin hanya sedikit efek hangat dari teh manis ini, pikir Bu Ratni

Posting Komentar

0 Komentar