BAB 1: Kehidupan Bu Kades
Matahari pagi di Desa Sukamaju selalu menyapa dengan kehangatan yang khas. Udara segar dan kicauan burung menjadi irama pembuka hari yang sibuk bagi Bu Lastri, kepala desa yang dikenal cerdas dan tegas. Sebagai perempuan pertama yang memegang jabatan kepala desa di Sukamaju, Bu Lastri telah membuktikan bahwa ia mampu membawa perubahan besar bagi warganya. Jalanan desa yang dulu berlubang kini sudah diperbaiki, irigasi pertanian yang dulunya bermasalah kini mengalir lancar, dan kegiatan sosial semakin aktif di bawah kepemimpinannya.
Namun, di balik senyum ramah dan semangat kerja kerasnya, ada sebuah ruang kosong di hati Bu Lastri yang tak pernah bisa diisi oleh pencapaiannya. Kehidupan rumah tangganya dengan Pak Suryo, suaminya, terasa jauh dari harmonis. Pak Suryo, pria sederhana yang dulu memikat hatinya dengan canda dan perhatian, kini berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh.
Pagi itu, seperti biasa, Pak Suryo hanya duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Sarapan yang sudah disiapkan Bu Lastri hanya disentuh seadanya. Tak ada percakapan hangat, hanya suara koran yang dilipat dan bunyi sendok bertemu piring.
“Kamu nanti ada rencana apa, Mas?” tanya Bu Lastri mencoba memulai percakapan.
“Ya seperti biasa, ke ladang. Lalu mungkin mampir ke warung kopi. Ada apa memangnya?” jawab Pak Suryo tanpa menatapnya.
“Oh, tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja,” sahut Bu Lastri dengan nada datar, meski hatinya terasa perih.
Pernikahan mereka yang telah berjalan lebih dari 15 tahun kini hanya terasa seperti formalitas. Percakapan-percakapan ringan seperti itu jarang berkembang menjadi sesuatu yang berarti.
Setelah Pak Suryo pergi, Bu Lastri mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan desa. Di kantor kepala desa, ia sibuk menemui warga yang membutuhkan bantuan. Salah satunya adalah seorang petani yang mengeluhkan pembagian pupuk bersubsidi.
“Bu Kades, saya mohon tolong dibantu. Pupuknya habis sebelum saya kebagian. Padahal lahan saya belum selesai ditanami,” keluh petani tersebut.
Bu Lastri mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat semua detail yang diperlukan, dan berjanji akan mencari solusi secepatnya. Warga desa selalu memuji dedikasinya yang tinggi. Namun, tak ada yang tahu bahwa setelah semua kesibukan itu, ia pulang ke rumah yang sepi dan dingin.
Hari itu, ketika Bu Lastri sedang menyelesaikan pekerjaannya di rumah, sebuah panggilan telepon datang dari kakak iparnya.
“Lastri, Singgih mau numpang tinggal di rumahmu selama kuliah. Dia baru dapat kampus di dekat desamu,” ujar suara di seberang telepon.
Bu Lastri sedikit terkejut, namun ia tak kuasa menolak. “Oh, baik, Mbak. Tidak apa-apa, biar saya siapkan kamar untuk dia.”
Bab 1: Kehidupan Bu Kades (Lanjutan - Fokus Pekerjaan Bu Lastri)
Setelah percakapan singkat dengan Pak Suryo di meja makan, Bu Lastri menyiapkan dirinya untuk pergi ke kantor kepala desa. Pagi itu seperti biasanya, ia mengenakan kebaya sederhana dengan sentuhan modern, lambang kepemimpinannya sebagai seorang perempuan yang mampu membawa desa Sukamaju ke arah yang lebih baik. Di luar, warga sudah berkumpul menantikan kehadirannya.
Begitu tiba di kantor, Bu Lastri langsung disambut oleh Pak Herman, sekretaris desa yang setia membantunya. “Bu Kades, jadwal kita hari ini cukup padat. Ada rapat dengan kelompok tani pukul sembilan, dilanjutkan dengan pertemuan program posyandu, dan sore ada warga yang meminta mediasi soal sengketa tanah,” jelasnya sambil menyerahkan map berisi dokumen.
Bu Lastri mengangguk dengan tenang, lalu membuka rapat pagi bersama para perangkat desa. Ia selalu memulai dengan memberi ruang kepada warganya untuk berbicara terlebih dahulu, memahami persoalan yang terjadi di lapangan sebelum memberikan solusi.
“Pak Herman, pupuk bersubsidi kita masih jadi masalah. Bagaimana tindak lanjut dari laporan minggu lalu?” tanya Bu Lastri, menatap langsung ke arah sekretarisnya.
“Masih ada kendala, Bu. Distributor mengatakan kuota sudah habis. Tapi saya dengar ada beberapa pihak yang menimbun,” jawab Pak Herman.
Bu Lastri menghela napas panjang. “Kalau begitu, saya akan langsung turun ke distributor. Kita tidak bisa membiarkan petani kita terlantar. Kalau mereka rugi, desa ini juga akan terkena dampaknya,” ujarnya tegas.
Setelah rapat selesai, Bu Lastri menuju kelompok tani untuk mendengar keluhan mereka secara langsung. Di sana, puluhan petani sudah menunggu. Beberapa wajah terlihat tegang, mencerminkan ketidakpastian yang mereka rasakan.
“Bu Kades, kalau begini terus, bagaimana kami bisa panen? Kami sudah beli benih mahal, tapi pupuknya tidak ada. Kami ini petani kecil, Bu, mana mungkin bersaing dengan yang punya lahan besar?” keluh seorang petani dengan nada frustrasi.
Bu Lastri mendekat dan duduk di antara mereka, mencoba menciptakan suasana yang lebih akrab. “Bapak-bapak, saya mengerti apa yang kalian rasakan. Masalah ini bukan hal yang kecil, tapi saya tidak akan tinggal diam. Saya akan memastikan pupuk sampai ke tangan kalian, bahkan kalau saya harus memanggil distributor ke kantor desa. Tolong beri saya waktu beberapa hari untuk menyelesaikannya,” janjinya.
Wajah para petani mulai terlihat lebih lega meski masalah belum benar-benar selesai. Bagi mereka, keberanian dan keseriusan Bu Lastri sudah cukup untuk memberikan harapan.
Setelah selesai dari pertemuan itu, Bu Lastri melanjutkan kegiatannya di posyandu. Di sana, ia berinteraksi dengan para ibu muda yang membawa anak-anak mereka untuk diperiksa kesehatannya. Posyandu di Desa Sukamaju memang salah satu program unggulan Bu Lastri. Ia percaya, generasi muda yang sehat adalah kunci kemajuan desa.
“Bu Kades, kami butuh lebih banyak bantuan susu untuk anak-anak. Stok dari dinas kesehatan sering terlambat,” kata salah satu kader posyandu.
“Saya akan koordinasi dengan dinas. Kalau memang perlu, kita cari solusi mandiri dulu. Yang penting anak-anak kita tidak kekurangan gizi,” jawab Bu Lastri sambil mencatat permintaan itu.
Di tengah kesibukannya, Bu Lastri tetap menunjukkan perhatian kepada semua orang yang ditemuinya. Baginya, menjadi pemimpin bukan hanya soal membuat keputusan, tapi juga tentang hadir di tengah-tengah masyarakat.
Namun, di balik senyum dan energinya yang selalu terlihat penuh semangat, ada kelelahan yang ia rasakan. Tidak jarang, saat perjalanan pulang dari kantor, ia merenung tentang kehidupannya sendiri.
“Kenapa aku bisa membantu banyak orang, tapi tidak bisa menyelesaikan masalahku sendiri?” pikir Bu Lastri dalam hati, mengingat betapa dinginnya hubungan dengan Pak Suryo di rumah.
Saat tiba di rumah sore itu, rumah terasa sepi seperti biasa. Pak Suryo belum pulang dari ladang, dan Bu Lastri memilih untuk menghabiskan waktu sendirian di ruang tamu sambil memeriksa kembali dokumen-dokumen desa.
Namun, sebelum ia benar-benar larut dalam pekerjaannya, ponselnya berbunyi. Panggilan dari Pak Herman.
“Bu Kades, saya baru dapat informasi bahwa ada oknum yang sengaja menahan distribusi pupuk untuk dijual dengan harga lebih tinggi. Ini kabar belum pasti, tapi saya pikir penting untuk diselidiki.”
“Kalau begitu, kita langsung tindaklanjuti besok pagi. Siapkan data lengkapnya, Pak Herman. Saya tidak akan membiarkan siapa pun memanfaatkan situasi ini,” jawab Bu Lastri dengan nada tegas.
Malam itu, ia kembali menghabiskan waktu di meja kerjanya, merencanakan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah desa. Dalam hati, ia tahu bahwa pekerjaannya sebagai kepala desa adalah salah satu hal yang memberinya arti di tengah kehampaan yang ia rasakan di rumah.
....
Intrik di Balik Pekerjaan Bu Lastri
Pagi berikutnya, Bu Lastri bersiap lebih awal dari biasanya. Pertemuan dengan distributor pupuk menjadi prioritasnya hari itu. Bersama Pak Herman, ia berangkat ke kantor pusat distributor yang berada di kota terdekat.
Ketika tiba, suasana formal langsung terasa. Perwakilan distributor, seorang pria berkemeja rapi bernama Pak Aditya, menyambut Bu Lastri dengan senyum tipis. Namun, dari awal pertemuan, Bu Lastri merasakan keengganan pria itu untuk memberikan solusi konkret.
“Bu Kades, kami sebenarnya sudah mendistribusikan sesuai kuota. Kalau ada kekurangan di lapangan, mungkin ada masalah di tingkat pengecer,” kata Pak Aditya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Tapi saya sudah memeriksa data di desa kami. Pupuk yang diterima jauh lebih sedikit dari kuota yang ditetapkan. Apakah tidak ada cara untuk menelusuri lebih lanjut?” desak Bu Lastri dengan nada tegas.
Pak Aditya tersenyum tipis, seolah meremehkan. “Bu Kades, kalau ingin lebih jelas, mungkin perlu diskusi dengan pihak lain yang terlibat. Tapi kami rasa ini bukan kesalahan kami.”
Bu Lastri tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia tahu bahwa berdebat panjang tidak akan memberikan hasil saat itu. Ia meninggalkan kantor distributor dengan rencana lain di benaknya.
“Pak Herman, kita perlu memeriksa langsung ke pengecer di desa. Saya curiga ada permainan di sana,” ujar Bu Lastri dalam perjalanan pulang.
Pak Herman mengangguk setuju. “Saya juga mendengar kabar bahwa ada pihak yang sengaja menahan stok untuk dijual dengan harga lebih mahal, Bu.”
Bu Lastri merasa marah, tapi ia tahu bahwa kemarahan saja tidak cukup. Ia perlu bukti untuk menghadapi siapa pun yang bermain curang dengan kebutuhan petani.
Kembali ke desa, Bu Lastri semakin sering mendengar kabar miring tentang dirinya. Beberapa perangkat desa mulai menunjukkan sikap yang tidak sepenuhnya mendukung. Salah satunya adalah Pak Lurah Jono, kepala dusun yang dikenal sering mengambil keuntungan dari program desa.
“Bu Kades terlalu sibuk dengan urusan pupuk. Padahal, ada banyak hal lain yang perlu diperhatikan,” ujar Pak Jono dalam sebuah rapat perangkat desa.
Komentarnya seolah-olah biasa, tapi Bu Lastri tahu itu sindiran langsung. Ia menduga Pak Jono terlibat dalam permasalahan pupuk, mengingat ia memiliki lahan pertanian luas yang selalu mendapatkan pasokan tepat waktu.
“Pak Jono, prioritas utama saya adalah memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi. Kalau ada yang merasa tidak sepakat, kita bisa bahas secara terbuka,” jawab Bu Lastri dengan nada dingin namun penuh ketegasan.
Pak Jono tersenyum tipis, namun tidak menjawab. Sikapnya hanya mempertegas bahwa ia bukan sekadar perangkat desa biasa; ia memiliki agenda sendiri.
Dua hari kemudian, Bu Lastri memutuskan untuk turun langsung ke lapangan. Bersama Pak Herman, ia mendatangi salah satu pengecer pupuk di desa. Namun, yang mereka temukan justru mengejutkan. Gudang pengecer tampak kosong, tetapi ada laporan bahwa pupuk sudah diterima beberapa hari sebelumnya.
“Pak, saya dengar pupuk datang minggu lalu. Tapi kenapa sekarang tidak ada?” tanya Bu Lastri pada pemilik gudang.
Pemilik gudang, seorang pria tua bernama Pak Wiryo, terlihat gugup. “I-itu… pupuknya langsung diambil oleh pembeli, Bu. Saya hanya menjalankan tugas.”
“Pembeli siapa? Saya ingin daftar nama dan kuantitas yang sudah dikeluarkan,” desak Bu Lastri.
Pak Wiryo semakin gugup. “Saya tidak punya datanya sekarang, Bu. Tapi… mungkin ada di kantor.”
Namun, sebelum pembicaraan berlanjut, seorang pria muda yang tampak seperti anak buah Pak Jono muncul dari belakang gudang. Dengan nada arogan, ia berkata, “Bu Kades, urusan seperti ini tidak perlu repot-repot. Biar perangkat desa saja yang mengurus.”
Bu Lastri menatap tajam ke arah pria itu. Ia tahu pria itu adalah orang suruhan Pak Jono. “Kalau ini melibatkan warga saya, saya yang bertanggung jawab. Jangan coba-coba menghalangi.”
Pria itu terdiam, tapi tatapannya penuh ancaman.
---
Permainan Kotor Mulai Terungkap
Malamnya, di rumah, Bu Lastri merenungkan apa yang telah ia temukan. Ia merasa ada kekuatan besar yang mencoba menggagalkan upayanya. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Bu Lastri memutuskan untuk memanggil beberapa petani yang dikenal jujur untuk memberikan informasi tambahan. Dari diskusi itu, ia semakin yakin bahwa pupuk memang sengaja ditahan oleh pihak tertentu untuk dijual dengan harga tinggi.
Pak Herman, yang turut hadir dalam diskusi, mengusulkan langkah lebih berani. “Bu, kalau begini terus, kita harus bawa masalah ini ke tingkat kabupaten. Kita butuh dukungan lebih besar untuk melawan permainan seperti ini.”
Namun, Bu Lastri tahu bahwa melibatkan pihak luar bisa memperumit situasi politik di desanya. “Kita perlu bukti lebih kuat sebelum melangkah sejauh itu. Kalau tidak, kita bisa dianggap hanya menuduh tanpa dasar,” katanya tegas.
Hari-hari berlalu dengan semakin banyak tekanan yang datang dari berbagai pihak. Bu Lastri merasa dirinya dikelilingi oleh intrik dan tipu daya, namun ia tetap berdiri tegak. Baginya, tugas sebagai kepala desa bukan hanya soal memimpin, tetapi juga memastikan bahwa warga desanya tidak dirugikan oleh pihak-pihak yang serakah.
Namun, ia tahu bahwa perjuangan ini baru saja dimulai. Di tengah kegentingan itu, ia harus tetap menjaga keseimbangan antara tugasnya sebagai pemimpin desa dan masalah pribadinya di rumah yang semakin terasa sulit diselamatkan.
-
0 Komentar