Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Bu kades di terhempas olehKeponakan Bab 2


Pagi itu, suasana rumah Bu Lastri sedikit berbeda. Singgih, keponakan Pak Suryo, tiba dengan koper besar di tangannya. Wajah pemuda itu tampak segar, penuh semangat menghadapi kehidupan barunya sebagai mahasiswa. Bu Lastri menyambutnya di depan rumah dengan senyum ramah, memastikan bahwa keponakannya merasa diterima.

“Kamar tamu ada di ujung, Singgih. Ibu sudah menyiapkan semuanya,” katanya sambil mempersilakan pemuda itu masuk.

Singgih menatap ruangan sederhana namun tertata rapi. “Terima kasih, Bu Lik. Saya janji nggak akan merepotkan.”

Bu Lastri tersenyum. Kehadiran Singgih memberikan warna baru di rumahnya yang biasanya sunyi. Pak Suryo, seperti biasa, hanya memberi tanggapan singkat sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya di ladang.

Hari-hari pertama Singgih di rumah itu berjalan tanpa masalah. Ia cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan desa, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk kuliah dan belajar. Namun, di sela kesibukannya, ia selalu berusaha membantu Bu Lastri, entah itu membersihkan rumah atau sekadar menemani berbincang.

Awalnya, semua berjalan biasa saja. Namun, lambat laun, percakapan mereka menjadi lebih dalam. Singgih, yang masih muda dan penuh semangat, sering memuji Bu Lastri atas dedikasinya sebagai kepala desa.

“Bu Lik, Ibu hebat sekali. Banyak warga yang bilang kalau desa ini berubah banyak sejak Ibu jadi kepala desa,” katanya suatu malam sambil membawa secangkir teh ke meja kerja Bu Lastri.

Bu Lastri tersenyum tipis. “Kamu terlalu berlebihan, Singgih. Semua ini hanya bagian dari tugas.”

“Tapi tidak semua orang bisa melakukannya sebaik Ibu. Saya harap suatu hari bisa belajar memimpin seperti Ibu,” balasnya dengan tulus.

Perhatian yang diberikan Singgih membuat Bu Lastri merasa dihargai, sesuatu yang jarang ia dapatkan dari Pak Suryo. Malam-malam yang biasanya sepi kini terasa lebih hidup dengan obrolan ringan mereka.

Namun, perubahan ini tidak luput dari perhatian warga desa. Gosip mulai menyebar, terutama di kalangan ibu-ibu yang sering berkumpul di warung kopi. Mereka melihat kehadiran Singgih di rumah Bu Lastri sebagai sesuatu yang mencurigakan.

“Bu Kades itu memang pintar, tapi aneh saja, ya. Ada anak muda tinggal di rumahnya,” bisik salah satu ibu.

“Apalagi suaminya jarang di rumah. Jangan-jangan mereka terlalu dekat,” tambah yang lain.

Gosip itu pelan-pelan sampai ke telinga perangkat desa. Beberapa dari mereka mulai mempertanyakan kepemimpinan Bu Lastri, terutama Pak Jono, kepala dusun yang diam-diam merasa terancam dengan posisi Bu Lastri.

“Bu Kades, saya dengar warga mulai resah. Mungkin sebaiknya Singgih tinggal di tempat lain saja,” katanya dalam sebuah rapat.

Bu Lastri menatapnya tajam. “Singgih adalah keluarga saya. Dia tinggal di sini untuk belajar, bukan untuk urusan lain. Saya harap kita tidak membahas hal-hal di luar pekerjaan desa.”

Pak Jono tersenyum tipis, seolah puas telah menyampaikan sindirannya. Namun, di balik itu, ia mulai merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Bu Lastri.

Di rumah, situasi juga semakin tegang. Pak Suryo, yang biasanya acuh, mulai merasa terganggu dengan kedekatan Singgih dan Bu Lastri. Suatu malam, ia menegur keponakannya secara langsung.

“Singgih, jangan terlalu sering ikut campur urusan rumah tangga. Kamu di sini hanya menumpang,” katanya dengan nada tajam.

Singgih terdiam, merasa serba salah. Bu Lastri, yang mendengar itu, mencoba menenangkan suaminya. “Mas, kenapa bicara seperti itu? Singgih hanya membantu, tidak ada yang salah.”

Namun, Pak Suryo tidak menjawab. Ia hanya bangkit dari kursi dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.

 masalah distribusi pupuk yang sedang diselidiki Bu Lastri semakin rumit. Setelah menemukan kejanggalan di gudang pengecer, ia mulai menerima ancaman dari pihak-pihak yang merasa terganggu.

Suatu malam, Bu Lastri menerima pesan singkat di ponselnya. Pesan itu berbunyi: “Jangan terlalu jauh, atau Anda akan menyesal.”

Ia merasa marah sekaligus takut. Namun, ia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Bersama Pak Herman, ia terus mengumpulkan bukti untuk mengungkap siapa yang bermain di balik penimbunan pupuk.

Di tengah semua tekanan ini, hubungan Bu Lastri dan Singgih semakin rumit. Meski mereka tidak pernah melampaui batas, kehadiran Singgih memberikan kenyamanan yang sulit dijelaskan. Dalam beberapa momen, Bu Lastri sering bertanya pada dirinya sendiri apakah ia salah membiarkan kedekatan ini terjadi.

Namun, kenyamanan itu hanya sementara. Gosip yang semakin kencang akhirnya memaksa Bu Lastri untuk menghadapi kenyataan. Dalam sebuah pertemuan warga, seorang ibu tiba-tiba mengajukan pertanyaan langsung.

“Bu Kades, maaf kalau saya lancang. Tapi apakah benar yang warga bilang soal Ibu dan keponakan suami Ibu?”

Suasana mendadak hening. Semua mata tertuju pada Bu Lastri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

“Singgih adalah keluarga saya. Apa yang kalian dengar adalah fitnah. Kalau ada yang merasa terganggu, silakan bicarakan langsung dengan saya, bukan menyebarkan gosip,” jawabnya tegas.

Namun, meski jawaban itu cukup untuk menenangkan warga, Bu Lastri tahu bahwa masalah ini belum selesai.

Di malam hari, ia duduk sendirian di ruang tamu, merenungkan semua yang terjadi. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Kehidupan pribadinya yang berantakan, gosip yang menyebar, dan tekanan politik di desa membuatnya hampir menyerah.

Singgih, yang melihat Bu Lastri termenung, mendekatinya perlahan. “Bu Lik, kalau keberadaan saya di sini hanya membuat Ibu semakin sulit, mungkin saya harus pindah.”

Bu Lastri menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Bukan kamu yang salah, Singgih. Semua ini hanya karena orang-orang suka mencari-cari kesalahan.”

Malam itu, Bu Lastri merasa bahwa ia tidak lagi bisa menghindari keputusan besar. Apakah ia harus melanjutkan perjuangannya sebagai kepala desa dengan segala risikonya, ataukah menyerah demi menjaga nama baik keluarganya?

Di sisi lain, ia juga mulai mempertanyakan perasaannya sendiri. Apakah ia benar-benar hanya menganggap Singgih sebagai keponakan? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang selama ini ia coba abaikan?

---........,...........

Malam itu, udara terasa hangat, meskipun angin lembut sesekali masuk melalui jendela ruang tamu yang dibiarkan terbuka. Bu Lastri sudah selesai dengan pekerjaannya sebagai kepala desa untuk hari itu. Setelah seharian berurusan dengan warga dan rapat perangkat desa, ia merasa lelah, tetapi suasana di rumah cukup tenang untuk membuatnya sedikit rileks.

Ia mengenakan gaun tipis lingeri  tidur berwarna maron dengan motif bunga kecil. Pakaian itu ringan dan nyaman, tetapi sedikit lebih terbuka dibandingkan pakaian yang biasa ia kenakan di siang hari. Gaun itu memperlihatkan pahanya yang halu putih seperti apalah,, wkwkwkwk  dan sebagian kecil lekukan lehernya. Ia tidak terlalu memikirkan hal itu, karena suasana rumah hanya diisi oleh dirinya, suaminya yang sudah tidur di kamar, dan Singgih.

Di ruang tamu, Singgih sedang duduk santai di sofa, menonton televisi sambil memakan sisa gorengan yang tadi sore dibelinya di pasar. Ketika Bu Lastri masuk, ia menoleh sekilas dan tersenyum.

“Belum tidur, Bu Lik?” tanyanya ramah.

“Belum, Singgih. Lagi pengen santai sebentar,” jawabnya sambil duduk di sofa yang sama, tetapi dengan jarak yang cukup dekat

Mereka berdua menikmati suasana sunyi itu. Televisi menayangkan acara agak berbau dewasa yang sesekali membuat Singgih menelan ludah  Bu Lastri, meskipun sesekali ikut terlihat klesetan , lebih banyak terdiam. Matanya tidak sepenuhnya tertuju pada layar. Pikiran-pikirannya melayang ke masalah yang ia hadapi belakangan ini—gosip warga, intrik politik, dan hubungan dinginnya dengan Pak Suryo.

Singgih menyadari bahwa Bu Lastri tampak murung. “Bu Lik, kelihatannya lagi banyak pikiran ya?”

Bu Lastri menghela napas panjang. “Iya, begitulah. Kadang, jadi kepala desa itu lebih sulit daripada yang kelihatan.”

“Ibu nggak sendiri kok. Kalau ada yang bisa saya bantu, Ibu tinggal bilang saja.”

Ucapan Singgih terdengar tulus, membuat Bu Lastri merasa sedikit terhibur. Ia menatap pemuda itu dengan senyum tipis, lalu kembali memandang layar televisi.

Waktu terus berlalu, hingga tanpa disadari, jarak antara mereka mulai berkuran. Singgih yang awalnya duduk tegak kini bersandar dengan lebih santai. Bu Lastri, yang merasa lelah, juga mulai merelaksasikan tubuh membiarkan punggungnya menyentuh sandaran sofa.

Saat salah satu adegan muncul di layar, Singgih tanpa sengaja menggerakkan tangannya untuk mengambil bantal kecil yang ada di dekatnya. Dalam gerakan itu, ujung jarinya tidak sengaja menyentuh paha Bu Lastri.

Sentuhan itu ringan dan singkat, tetapi cukup untuk membuat keduanya terkejut. Singgih segera menarik tangannya, sementara Bu Lastri menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu dalam keheningan.

“Maaf, Bu Lik,” kata Singgih buru-buru, wajahnya tampak sedikit gugup.

Bu Lastri tersenyum tipis, mencoba meredakan kecanggungan. “Tidak apa-apa, Singgih. Cuma nggak sengaja, kan?”

Singgih mengangguk cepat, tetapi dalam hatinya, ia merasa sedikit canggung. Sentuhan itu, meskipun tidak disengaja, meninggalkan kesan ingin mengulang dalam dirinya. Ia merasa bersalah tetapi sekaligus tidak bisa mengabaikan kehangatan yang sempat ia rasakan.

Di sisi lain, Bu Lastri berusaha untuk tetap tenang. Ia tahu bahwa itu hanyalah kecelakaan kecil, tetapi entah mengapa, ia merasa jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia segera mengalihkan perhatian kembali ke televisi, meskipun pikirannya mulai berputar.

 Ada semacam ketegangan halus yang terasa di antara mereka, meskipun tidak ada yang berani mengungkapkannya.

Setelah beberapa menit, Bu Lastri akhirnya tanpa sengaja membuka kakinya agak lebar membuat belahan lingeri yang di kenakan tersingkat dan terlihat oleh Singgih sampe terlihat cede berwarana merah . “ Singgih sampe berdebar kencang ,,tak kuaasa menahan nafasnya,, ga beraturan..
Tiba tiba Singgih seperti kerasukan setan,, 
Mendekatkan ke Bu Lastri.

Bu Lik,, Aku ingin Bu Lik . Tanya nya Singgih pelan
MAGSUDNYA APA NGGIH!!!!!!! 
jika ini lancang maaaf kan aku ..
Lalu Singgih menunnggangi Bu Lastri yang menegangkan lingeri maron itu hingga Bu Lastri berontak kencang,, akan tetapi tenaga Singgih lebih kuat , dengan lahap nya Singgih membelai dada Bu Lastri dengan halus hingga ikat tali lingeri itu terlepas ,, dan Bu Lastri berkata,,
Jangan ngiih ,,, Bu Lik mohon km masih keponakan suami Bu  Lik,, janga lakukan ini Aku mohon,,.ohh....
 sinnggih tidak memperdulikan itu , tidak lama kemudian Bu Lastri terhmpas dalam kenikmatan keponakan nya itu,, DiA hilang kesadaran karena suda basah kuyup semuanya ,, tak ada kata lagi untuk bicara,, 
Hanya ,,ohhhh Singgih Ampun ada suami Bu Lik ohh jangan nanti bangun,,, 

Singgihhhhhhhhhh..... Emmmmmmhhh ochhgggggggggg Jangan Sakit  
Tiba" suara terdengar Blepukkkk,,, ssssstttt 
Sampai Bu Lastri terkejang Akibat serangan Singgih yang Bukan main,,, 

Ohhh Singgih ohh jangannnnnn ....
Nanti Om kmau bangun,,,oh 


Posting Komentar

0 Komentar